Sepotong Sejarah Dari Yogya
Sepotong Sejarah Dari Yogya  Oleh Anton  Ada yang menarik dari perbincangan Andy F. Noya dengan Sultan Yogya.  Pertama, menjadi jelas memang figur Sultan Yogya masih sangat  kharismatis di mata orang Jawa, kedua Megawati dan capres lainnya  akan punya lawan kuat dan ketiga memperlihatkan Yogya merupakan  sebuah daerah inti pembentukan Republik Indonesia. Lalu ketika kita  mengingat Yogya dan perjuangannya maka pandangan kita tak bisa  dilepaskan pada Sultan Yogya ke sembilan. Raja terbesar Yogyakarta  sepanjang sejarah kesultanan Yogyakarta sejak Perjanjian Giyanti 1755.  Sepanjang sejarahnya Yogyakarta lebih dikenal sebagai wilayah yang  melahirkan pembangkang terhadap kekuasaan kolonial Hindia Belanda  ketimbang pusat budaya. Berbeda dengan Mangkunegaran yang dimulai  dari kebesaran Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyowo dimana  kemudian Mangkunegaran berubah menjadi wilayah tersendiri yang kaya  raya dan banyak menghasilkan karya-karya sastra dan budaya. Puncak  karya Mangkunegaran adalah pada masa Mangkunegoro IV dan Mangkunegoro  VI dengan karyanya Wulangreh, Serat Kalathida dan banyak karya  lainnya begitu juga dengan tari-tarian yang adiluhung. Sementara  Kasunanan Solo mengalami puncak kejayaannya pada masa Pakubuwono X  (sepuluh). Beliau merupakan Raja Jawa yang sering dibilang sebagai  Ratu Wicaksono dan sangat kaya raya sekali karena menguasai jaringan  perdagangan gula. Dibanding Kasunanan dan Mangkunegaran, wilayah  Voorstenlanden Yogya seperti : Kasultanan dan Pakualaman tidak  memiliki apa-apa. Sultan Yogya ke delapan malah terkenal sebagai  Sultan yang senang pesta mewah. Gambar-gambar perjamuan makan Sultan  Yogya VIII menunjukkan selera tinggi Sultan yang gemar menghambur-  hamburkan uang. Tapi Sultan Yogya VIII ini punya putera yang luar  biasa, dia bernama : Dorodjatun. Dorodjatun ini bukan putera dari  Garwo Padmi (Permaisuri) tapi putera dari Garwo Ampilan (selir). Di  usianya yang begitu muda Dorodjatun melihat ibunya separuh terusir  dari Istana, dan tinggal di luar lingkungan Istana. Hal ini membekas  dihatinya.  Dorodjatun di titipkan oleh Bapaknya ke keluarga Mulder, dididik  dengan cara-cara Belanda, dengan begitu Dorodjatun tahu adat istiadat  orang Belanda, dengan cara berpikir barat kelak dia mampu  mempermainkan Belanda pada masa-masa perang Revolusi. Setelah dewasa  Dorodjatun disekolahkan di Belanda disini dia mempunyai sahabat  Puteri Juliana yang kelak menjadi Ratu Belanda. Puteri ini senang  sekali dengan Dorodjatun karena sikapnya yang pendiam, sederhana  namun pandai melucu. Kedua anak bangsawan ini-pun bersahabat, tapi  ada rumor yang bilang kalau sang Puteri jatuh cinta dengan  Dorodjatun. Di Belanda Dorodjatun juga sekelas dengan Hamid Algadrie,  Nah Hamid ini kelak menjadi Sultan Hamid II, Raja Pontianak tokoh  penting di balik BFO (Bijeenkomst voor Federale Overleeg) sebagai  hasil kompromi terhadap Konferensi Meja Bundar. Bila dibaca dari  buku `Tahta Untuk Rakyat’ terlihat sekali kedua Sultan ini merupakan  rivaal. Bahkan Dorodjatun dengan sedikit sinis menceritakan bahwa  Hamid Algadrie kecil pernah nangis ketika berkelahi dengan seorang  perempuan. Hubungan kedua Sultan ini kelak dijaman Revolusi kurang  begitu baik tapi mereka sering berhubungan karena desakan politik.  Sekitar akhir tahun 1930-an Sultan HB VIII memanggil anaknya  Dorodjatun untuk pulang, mereka bertemu di Batavia tepatnya di Hotel  Des Indes (Hotel ini kelak menjadi Pertokoan Duta Merlin). Di Hotel  itulah Sultan menyerahkan tahtanya dan mangkat. Jadilah Dorodjatun  menjadi Sultan HB IX. Tidak seperti Bangsawan-Bangsawan lain, Sultan  HB IX dikenal sebagai seorang Sultan yang rendah hati, dia benar-  benar bergabung dan membela rakyatnya ini menjadi cerita-cerita  rakyat Yogya yang legendaris.  Sebelum dinobatkan menjadi Sultan sudah kebiasaan pemerintahan Hindia  Belanda lewat Residennya selalu berunding dulu dengan calon Raja.  Biasanya perundingan ini untuk menodong konsesi-konsesi politik pada  calon Raja baru, sebagai wilayah yang merdeka kekuasaan Sultan Yogya  sangat terbatas dan selalu diawasi oleh Residen. Biasanya pada Sultan-  Sultan terdahulu, perundingan berlangsung singkat, karena pendahulu  Dorodjatun biasanya tak mau ambil pusing, apalagi setelah insiden  Ontowiryo yang berbuah perang Diponegoro. Namun Dorodjatun tidak mau  mengalah pada perundingan ini. Tapi pada suatu malam Dorodjatun  mendengar suara “Sudah kamu tanda tangani saja, sedikit lagi Belanda  pergi dari sini” Dorodjatun yakin bahwa itu suara nenek moyangnya.  Dan paginya dengan hati ringan ia menandatangani pengajuan konsesi,  Toh Belanda sedikit lagi mau pergi. Hal itu membuat Residen Belanda  tercengang karena tanpa angin tanpa hujan Sang Pangeran Mahkota mau  menandatangani pengajuan konsesi setelah selama berbulan-bulan  menolak habis-habisan pengajuan dari Belanda. Lalu dinobatkanlah sang  Sultan menjadi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku  Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo,  Kalifatullah Ingkang Kaping Songo” , disaat penobatan itu pula-lah  Sri Sultan HB IX mengucapkan kata terkenalnya : ” Saya memang  berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”  Di pertengahan tahun 1945 orang-orang pergerakan di Jakarta sudah  berhasil memasuki masa puncak kerjanya yaitu : Proklamasi Kemerdekaan  Indonesia, dimana Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan  kemerdekaannya. Namun tuntutan kemerdekaan politik itu oleh pihak  Republikein secara de jure hanya daerah kekuasaan Belanda. Di luar  kekuasaan Belanda kaum Republikein tidak berhak, sementara wilayah  kekuasaan Solo-Yogya disebut Voorstenlanden adalah daerah yang  dipertuan oleh Sunan Solo, Mangkunegoro, Sultan Yogya dan Paku Alam  dan bukan kekuasaan Hindia Belanda. Di puncak sejarah inilah nasib  kedua wilayah menjadi sangat berbeda juga nasib kehidupan kraton-  kratonnya kelak. Sunan Solo dan Mangkunegoro bimbang, bahkan separuh  menolak bergabung dengan Republik Indonesia. Mereka takut bila  bergabung dengan Republik kerajaan-kerajaan akan dilikuidir dan  pemerintahan yang dikabarkan Sosialis itu menolak adanya bentuk  feodalisme. Sementara Sultan Yogya dan Paku Alam dengan keyakinan  bulat mendukung Republik Indonesia dan bergabung dengan Republik  Indonesia. Penggabungan Sultan Yogya ini merupakan simbol bahwa Raja  Jawa (Jawa adalah simbol dari pusatnya Nusantara) berdiri dibelakang  Sukarno-Hatta ini berarti dari sisi budaya kemerdekaan RI mendapatkan  legitimasinya. Sunan Solo dan Mangkunegoro masih menolak dan ini  berakibat fatal karena rakyat Solo keburu marah pada dua raja ini dan  meledaklah Gerakan Swapraja dimana mereka menuntut Raja Solo dan  Mangkunegaran menyerahkan hak istimewanya ke Republik Indonesia sejak  saat itulah Kasunanan Solo kehilangan wibawanya. Mangkunegaran masih  agak terselamatkan karena kelak Suharto yang menjadi Presiden RI  kedua menikahi kerabat jauh Mangkunegaran dan Keraton Mangkunegaran  masih sedikit memiliki pamor.  Sultan Yogya meminta agar Sukarno-Hatta dan seluruh pemimpin Republik  pindah ke Yogyakarta, dengan pertimbangan Belanda lewat NICA sudah  membonceng Sekutu dan akan menjadikan Jakarta sebagai pusat  pertempuran. Dan memang betul perkiraan Sultan Garis Jakarta-Bandung  merupakan pusat kekuatan militer NICA apalagi di Jakarta ada Batalyon  X yang terkenal kejam. Di Yogya para penggede RI yang sesungguhnya  miskin harta itu dibantu keuangannya oleh Sultan. Ibu Fatmawati dan  Ibu Rahmi Hatta sering mendapat santunan dari Sultan Yogya, bahkan  ada cerita bahwa Sultan itu kalau ngambil untuk bantuan kepada  perjuangan Republik Indonesia tidak pernah ada hitungannya, ia raup  semua (dengan menggunakan kedua tangan) keping-keping emas milik kas  kesultanan tanpa perlu menghitung kembali dan setelah kondisi RI  mapan Sultan sama sekali tidak menyinggung- nyinggung hal ini, dia  selalu diam. Ini tidak seperti pemimpin-pemimpin lain yang gembar  gembor perjuangannya termasuk berbohong untuk melambungkan peran  perjuangannya, seperti apa yang dilakukan oleh Suharto.  Berbicara tentang Sultan HB IX tak lengkap rasanya bila tidak  menyinggung kejadian `Janur Kuning’. Kejadian Janur Kuning bermula  dari serangan besar-besaran militer Belanda tanggal 18 Desember 1948.  Belanda berhasil menerjunkan ribuan orang ke Maguwo Yogya tanpa  perlawanan berarti kecuali dari taruna-taruna AURI dibawah komando  Kasmiran. Penyerbuan ke Yogya pada waktu sangat mendadak pasukan  penerjun payung kebanyakan KNIL orang Ambon dan Kupang dalam  pertempuran di Maguwon itu 40 orang anak buah Kasmiran tewas  ditempat. Saat itu sedang berlangsung perundingan antara pihak RI  dengan Belanda di daerah Kaliurang. AH Nasution juga sedang berada di  Yogya dan terlibat perundingan namun tiba-tiba Belanda melakukan  sebuah keputusan nekat menyerang Yogyakarta. Prakarsa ini melawan  kehendak Van Mook dan diputuskan oleh Dr.Beel Perdana Menteri  Belanda dari garis keras, Van Mook sendiri lebih menginginkan langkah  kooptasi dengan membentuk pemerintahan- pemerintahan boneka yang  mengepung Jawa, tapi karena Belanda baru saja dapat bantuan dari  proyek Marshall Plan uangnya digunakan untuk membiayai perang.  Serangan Belanda ke Maguwo mengikuti metode pasukan Jerman saat  menduduki Nederland tanggal 10 Mei 1941. Menggunakan taktik  penerjunan payung. Dengan langsung terjun payung, maka pasukan  Belanda bisa langsung berada di garis belakang musuh tanpa melewati  barikade-barikade militer yang ada di sekeliling Yogya terutama jalur  Semarang-Yogya atau Purwekerto-Yogya. Pimpinan serangan umum Belanda  ada ditangan Jenderal Spoor, yang dulu merupakan anak buah dan  didikan Letjen Oerip Soemohardjo semasa di KNIL. Untuk pasukan dalam  kota diserahkan kepada Kolonel Van Langen Komandan Brigade T.  Serangan berjalan lancar pertahanan dari pihak republik sama sekali  tidak ada. Bahkan beberapa penduduk saat melihat pesawat-pesawat  tempur jenis cureng di udara dan tank sherman mulai masuk kota,  rakyat malah takjub dikiranya TNI sedang latihan perang-perangan.  Beberapa diantaranya berteriak kegirangan karena bangga melihat  pesawat-pesawat canggih terbang di atas kota dan mereka kira itu  pesawat milik TNI AU. Memang sebelum serangan dimulai AH Nasution dan  Bambang Sugeng Komandan Divisi Djawa Tengah sudah mengabarkan bahwa  TNI akan melakukan latihan perang-perangan untuk mengantisipasi  serangan Belanda. Namun belum latihan ternyata TNI sudah kedahuluan  anak buah Jenderal Spoor.  Jenderal Sudirman yang tahu kota Yogya sudah terkepung buru-buru  menghadap Bung Karno dan penggede-penggede Republik yang sedang rapat  di Gedung Agung (Istana Negara) membahas serbuan Belanda. Jenderal  Sudirman disuruh mengunggu di luar, sebentar Bung Karno menemui  Sudirman dan mengatakan “Saya akan menyerahkan diri” Sudirman kecewa  akan keputusan Bung Karno, dia balik bertanya “Bung tak mau  bergerilya dengan saya di hutan-hutan? ” Bung Karno diam sejenak lalu  tangannya memegang hidungnya, sejenak matanya berkedip-kedip “Dirman,  kau tahu saya akan merasa terhina bila saya nanti tertangkap Belanda  di kampung-kampung tengah hutan sebagai pelarian. Apalagi bila saya  terbunuh, lebih baik saya ditangkap dengan cara terhormat dengan ini  berarti dunia Internasional masih memperhatikan saya,…sekarang kamu  pulanglah dulu..kamu sedang sakit, lebih baik beristirahatlah”  Sudirman kecewa bukan main terhadap jawaban Bung Karno sebelumnya ia  juga sudah kecewa dengan sikap pemerintah yang didominasi kelompok  Sjahrir yang masih suka berunding dengan Belanda. Sudirman lebih  bersimpati pada kekuatan militer yang terpengaruh Tan Malaka  ketimbang TNI pro Hatta atau Sjahrir. Tapi dia sungkan dengan Bung  Karno. Akhirnya Sudirman pulang dengan hati mangkel.  Sudirman berjalan bersama ajudannya ke rumahnya. Sudah dua bulan dia  terbaring sakit, dan baru kali ini dia bisa bangun dan keluar rumah  setelah mendengar beberapa kali bunyi bom. Di rumah Sudirman lalu  tidur di kamarnya. Paru-parunya tinggal satu, yang satunya lagi juga  sudah menghitam terpengaruh penyakit. Badannya kurus kering. Saat ia  terbaring beberapa perwira TNI mengunjunginya termasuk Kolonel  Bambang Sugeng. “Saya tidak mau menyerah dengan Belanda” kata  Jenderal Sudirman.  `Ya, Pak kita juga tidak akan menyerah, tapi Belanda sudah mengepung  Yogya” kata Kapten Tjokropranolo ajudan Jenderal Sudirman. “Tjokro  ambilkan aku jas dan blangkon di laci, minta pada Ibu…”  “Lho, Bapak mau kemana?”  “Saya akan menyingkir ke hutan-hutan saya tidak mau ditangkap Belanda”  “Tapi Bapak masih sakit”  “Anak-anakku masih banyak bergerilya di dalam hutan, masak aku mau  nyerah begitu saja”  “Baiklah Pak nanti Bapak ditandu saja dengan kursi kayu di depan”  “Baiklah”  Sidang darurat di tengah agresi militer Belanda berlangsung cepat.  Diputuskan pemerintahan akan di over ke Bukittinggi kebetulan disana  ada Menteri Kemakmuran Sjarifudin Prawiranegara dan beberapa pemimpin  Republik lapis tengah sedang bertugas di Bukittinggi. Termasuk  beberapa perwira yang ada di Sumatera seperti Kolonel Hidayat yang  menjabat Panglima Komandan Sumatera (ajudan Kol. Hidayat ini Kapten  Islam Salim- anak Agus Salim-), Kolonel Nazir diangkat menjadi Kepala  Staf Angkatan Laut PDRI juga Kolonel Hubertus Soejono menjadi KSAU  (kelak di tubuh AURI terjadi perpecahan karena belum terselesaikannya  masalah penyerahan KSAU PDRI ke KSAU RI karena Suryadarma masih  menganggap dia sabagai KSAU resmi, Suryadarma juga ikut ditangkap  pada penyerbuan Belanda 28 Desember 1948 dan dibuang ke Bangka). Bung  Hatta juga memerintahkan agar dibangun sebanyak mungkin zender  (jaringan pengirim) radio untuk dijadikan kekuatan penekan bagi Palar  di PBB. Setelah selesai Bung Karno keluar ruangan dan mendengar suara  bom terus berjatuhan, sementara Sri Sultan HB IX berjalan di  belakangnya. Bung Karno menoleh kepada Sultan. “Bung Sultan bagaimana  dengan Bung, apa Bung yakin aman disini?” Dengan tersenyum Sri  Sultan berkata “Bung Karno tidak usah mengkhawatirken saya, Belanda  tidak akan berani masuk Keraton, nanti biar para perwira-perwira TNI  bersembunyi di dalam Keraton menyamar jadi abdi dalem”  “kalau begitu saya akan tunggu itu Van Langen tangkap  saya…sementara Bung Sultan tetap di Yogya”  “Ya saya kira begitu” Sri Sultan tersenyum. Sultan tahu Van Langen  tidak akan berani menangkap dirinya, karena Sri Ratu Belanda sudah  berpesan pada tentara Belanda jangan mengutak-atik kawannya Sri  Sultan HB IX.  Sementara bom terus berjatuhan dari pesawat Mitchell dan deru pesawat  tempur terus menerus terdengar. Beberapa kali ledakan bom terdengar  di belakang Istana. Setelah Bung Karno selesai berbincang-bincang  dengan Sri Sultan ia melihat Sjahrir berjalan santai ke arah  kamarnya. “Sjahrir kamu mau kemana” Sjahrir kaget menoleh ke arah  Bung Karno. “Saya lapar Bung…mau makan dari siang belum makan ini”  Bung Karno tersenyum dan menggeleng-gelengka n kepala.  Di tengah bom yang terus berjatuhan Sjahrir tetap dengan tenang makan  nasi dan lauk pauknya. Saat ditanya salah seorang asisten kenapa dia  tidak khawatir dengan bom yang terus berjatuhan, dengan enteng  Sjahrir menjawab dalam bahasa Belanda “Soal mati nantilah, yang  penting aku makan dulu…”  Menjelang sore hari tanggal 19 Desember 1948 Istana Agung ditembaki  oleh pasukan khusus Belanda, beberapa bom berjatuhan. Menyadari  serbuan Belanda sudah tidak bisa ditahan oleh pasukan pengawal  Istana. Bung Karno meminta pada Sjahrir untuk menyuruh orang membawa  bendera putih pertanda bahwa orang-orang Istana menyerah. Sri Sultan  HB IX berada di Siti Hinggil dia tidak mau terlihat bersama dengan  penggede Republik agar jangan ditangkap dan secara tersirat berpesan  pada Belanda urusan Keraton dengan Republik sama sekali dia tidak  tahu menahu. Ini memang strategi Sultan agar dia tidak bentrok dengan  Belanda di awal penyerbuan. Sri Sultan paham pesan Bung Karno untuk  tetap di Yogya, karena sesungguhnya kunci kemenangan itu diletakkan  pada Sri Sultan bukan pemerintahan Darurat PDRI di Bukittinggi.  Biarpun pemimpin Republik semua pergi, tapi masih ada pemimpin  Republik yang punya kekuasaan di Yogyakarta, yaitu : Sri Sultan HB  IX, dimana dimata Belanda sikap Sultan masih bisa dirubah dengan  bujuk rayu dan Sultan hanyalah Republikein terselubung, hal ini tidak  disadari Belanda bahwa sejak bulan September 1945 Yogyakarta sudah  menyatakan bergabung dengan RI ini berarti kedudukan Sri Sultan HB IX  dibawah Presiden RI bukan lagi netral seperti perkiraan Belanda.  Seorang Kapten Belanda masuk ke dalam gedong agung dan menghadap Bung  Karno. “Tuan akan segera kami tangkap” Bung Karno tersenyum dan  berkata singkat “Ya, kami sudah tahu…” mata Bung Karno melihat ke  arah Perdana Menteri Hatta, Sjahrir, KSAU Surjadarma dan beberapa  menteri lainnya. Lalu dia berkata pada kabinet Hatta itu “Ayo kita  berangkat” Lalu Bung Karno dengan menenteng jas dan kopernya dibawa  seorang serdadu Belanda menumpang sebuah jeep dibawa ke Maguwo untuk  bertemu dengan Kolonel Van Langen, Komandan Brigade T.  “Saya harus diperlakukan sebagai Presiden Republik Indonesia, apa  yang anda lakukan sudah menyalahi hukum perang..” kata Bung Karno  dengan suara tegas pada Kolonel Van Langen. Kolonel Van Langen yang  dari tadi duduk kemudian berdiri dan berjalan ke mejanya, ia  mengambil sebuah surat dari atasannya. “Ini bacalah, Tuan” Bung  Karno mengambil kertas itu lalu membaca singkat. “Saya bukan bagian  dari negara Tuan, negeri kami sudah merdeka…dan saya adalah  Presiden Republik Indonesia, saya tidak mau kalian tangkap seperti  penjahat” Kolonel Van Langen agak gusar dengan jawaban Bung Karno  tapi dia juga tidak tahu status Bung Karno dalam penangkapan ini apa.  Dia berjalan keluar ruangan kerjanya dan menyuruh anak buahnya  menghubungi Jenderal Spoor. “Ya, ada apa Kolonel?”  “Jenderal, Tuan Sukarno minta kejelasan status”  “Ya, dia tawanan perang” Jawab Spoor singkat.  “Status tawanan apa?” tanya Van Langen.  “Presiden Republik Indonesia… biar saja, toh nanti akan segera kita  likuidir Republik itu”  “Ya kalau begitu baiklah….” Kolonel Van Langen melangkah ke dalam  dan menemui Bung Karno. “Tuan anda kami tawan sebagai Presiden  Republik Indonesia”  Bung Karno tersenyum lebar. “Baiklah tapi ingat Kolonel kalian punya  pemerintahan sudah bikin kesalahan fatal” wajah Van Langen meringis  lalu berkata pelan “Saya tidak tahu politik Tuan, saya hanya tahu  perang” Bung Karno tertawa. “Lalu kemana kami akan kalian bawa”  “Tuan akan kami putuskan setelah Tuan berada dalam pesawat, saya juga  tidak tahu dimana Tuan akan kami bawa” Wajah Bung Karno tiba-tiba  muram ia takut Belanda main curang dengan mentorpedo pesawatnya, tapi  ia menenangkan diri Belanda lebih sportif daripada Jepang. “Tuan  Sukarno besok Pagi Jenderal Mayoor Meijer akan datang menemui Tuan”  Bung Karno membenarkan letak duduknya “Jaantje Meijer sudah jadi  Jenderal?”  “Ya Tuan… Jenderal Mayoor” Jawab Van Langen singkat. Bung Karno  tahu Jaantje masih berpangkat Kolonel saat penyerbuan pasukan Belanda  ke arah selatan Jawa dan sekitar Gunung Slamet.  Paginya Jenderal Mayoor Meijer datang ke ruang tahanan Bung Karno.  Dengan berpakaian rapi dia menyapa sopan Bung Karno. “Goeden Morgen,  Tuan Sukarno apa kabar?” Bung Karno berdiri menyambut Meijer. “Baik  Tuan Meijer, saya masih Presiden Republik Indonesia” Meijer tertawa  dan mengajak Bung Karno bicara. ” Dengan serangan ini berarti  pemerintahan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi”  Bung Karno bungkem dia menaham marah mendengar kata-kata  Meijer. “Tuan Sukarno saya harap pasukan-pasukan liar ekstremis  menghentikan perlawanannya” Bung Karno semakin kesal mendengar ucapan  Meijer. Akhirnya Bung Karno bicara setelah mendengar Meijer bicara  panjang lebar tentang kemungkinan- kemungkinan masa depan. “Dengar  Tuan Meijer saya tidak akan tunduk dengan siapapun, Pasukanmu mungkin  berhasil menguasai Yogyakarta tapi pasukan-pasukan liar yang Tuan  sebut tadi, akan merebutnya kembali…Kami bukan orang yang gampang  menyerah”  “Terserah Tuan tapi Tuan kami akan segera tawan di luar Jawa”  “Saya tidak takut”  Meijer menyalami Bung Karno dan pamit keluar. Dua hari kemudian Bung  Karno dan rombongan di bawa ke Brastagi. Lalu mereka di pindahkan ke  tepi danau Toba. Di danau Toba segerombolan pemuda Republik nekat mau  membebaskan Bung Karno cs namun keburu ketahuan Belanda, mereka  kemudian diberondong peluru dan tewas semua. Di Prapat ini juga Bung  Karno mendengar bahwa dia mau di eksekusi mati. Hati Bung Karno  gelisah bukan main saat mendengar desas desus dia mau dieksekusi dari  salah seorang pelayan yang nangis-nangis karena mendengar kabar dari  seorang serdadu Belanda Bung Karno mau dieksekusi. Bung Karno  berjalan ke kamarnya dan membuka Al Qur’an dengan sembarang lalu  menemukan sebuah ayat yang berbunyi : Mati Hidup manusia di tangan  Allah SWT. Setelah itu hati Bung Karno tenang. Tak lama kemudian  Bung Karno dipindahkan ke Bangka.  Sementara di Yogyakarta Sri Sultan HB IX terus menerus mendapat  tekanan dari pihak Belanda. Beberapa intel Belanda melaporkan Sri  Sultan HB IX terbukti menjalin kerjasama dengan beberapa perwira TNI  juga menyembunyikan mereka di dalam Kraton. Sri Sultan menolak  tuduhan Belanda dan meminta agar Belanda memeriksa sendiri saja ke  dalam Keraton. Tapi bila pasukan Belanda berani masuk ke Keraton dia  akan protes kepada kawan kecilnya yang sudah jadi Ratu Belanda,  Juliana.  Kemudian datanglah Pro-Kontra itu yang menjadi perang sejarah sampai  saat ini belum selesai. Yaitu Serangan Umum 1 Maret 1949. Untuk itu  mari kita baca dulu dari versi Sri Sultan HB IX. Setelah penangkapan  Belanda terhadap pemimpin-pemimpin Republik Indonesia, PBB mengalami  kegemparan. Nehru, Perdana Menteri India menuding Belanda sudah  melakukan perbuatan biadab tak tahu malu. Kemarahan Nehru ini  didukung oleh anggota-anggota PBB lainnya. Yang paling galak adalah  Australia, Australia meminta Belanda mematuhi etika hukum  Internasional karena sudah berulang kali Belanda berunding dengan  pihak Indonesia baik melalui pihak ketiga atau Komisi Tiga Negara dan  Komite Jasa Baik dengan begitu Belanda mengakui eksistensi negara RI,  sementara penyerbuan kemarin itu dinyatakan Belanda sebagai aksi  Polisionil dengan menyamakan agresi militer dengan aksi polisionil  berarti Belanda secara tidak langsung sudah menyatakan Republik  Indonesia sudah tidak ada lagi.  Amerika Serikat sendiri lewat delegasinya mendesak Belanda mengadakan  perundingan dengan pihak Indonesia seraya mengancam bila kelakukan  Belanda tidak berubah maka dompet bantuan Amerika terhadap Belanda  tidak akan terbuka lagi. “Belanda harus mematuhi peraturan-peraturan  Internasional dan mengikuti cara-cara penyelesaian konflik yang  terhormat”  Belanda yang merasa terpojok dengan desakan negara-negara anggota PBB  berteriak lantang “Republik Indonesia tidak ada lagi, buktinya sama  sekali tidak ada perlawanan dari pihak kaum RI ketika pemimpin-  pemimpinnya kami tangkap”  Sri Sultan mendengarkan perdebatan-perdebat an PBB ini baik-baik dari  siaran BBC, ia mengambil kesimpulan bahwa harus diadakan serangan  militer besar-besaran yang dapat membuktikan anggapan Belanda itu  salah. Ia duduk terdiam dan berpikir apa bisa militer melakukan  serangan terkonsolidasi. Sri Sultan HB IX meminta pendapat kakaknya  Pangeran Prabuningrat apakah bisa militer dikonsolidasikan untuk  melakukan serangan yang sedang ia pikirkan. Pangeran Prabuningrat  mengusulkan agar Sultan memanggil salah seorang perwira TNI yang  masih ada di sekitar Yogya. “Siapa, Latief Hendraningrat sedang di  luar kota”  “Itu Komandan Wehrkreiss III, yang orangnya pendiam masih di sekitar  Yogyakarta?”  “Yang mana?” tanya balik Prabuningrat.  “Itu lho yang berhasil rebut tangsi senjata Jepang di Kotabaru”  “Oh, Overste Suharto”  “Ya, Suharto…suruh orang Keraton hubungi dia untuk datang kesini,  menyamar jadi Abdi Dalem Keraton saja”  “Baiklah” kata Prabuningrat.  Suharto datang diam-diam ke Keraton Yogya dengan menyamar menjadi  Abdi Dalem (kisah Suharto menyamar menjadi Abdi Dalem ini sempat di  film-kan oleh Usmar Ismail di tahun 1950 dan masih versi Orisinil  jauh dari kesan menjilat). Suharto dibawa Marsoedi sebagai perwira  penghubung antara Suharto dengan Sri Sultan ke ruang khusus Sri  Sultan untuk membicarakan kemungkinan serangan besar-besaran di  Yogyakarta. Kejadian itu berlangsung tanggal 14 Februari 1949.  “Mas Harto duduklah” Jawab Sultan dengan bahasa Jawa halus.  “Baik Kanjeng Sinuwun” Jawab Letkol Suharto dengan menggunakan bahasa  Jawa Tinggi yang biasa dibahasakan seorang hamba pada Paduka Rajanya.  “Mas Harto akhir-akhir ini keamanan kota Yogya tidak stabil bagaimana  kamu bisa membereskannya supaya tidak ada lagi penjarahan-penjarah an  di toko-toko dan perampokan-perampok an yang kabarnya juga menggunakan  senjata, Belanda sendiri kewalahan terhadap aksi liar para perampok  itu”  “Bisa Kanjeng Sinuwun, saya usahaken agar perampokan itu tidak ada  lagi..”  Sri Sultan melihat ke arah radio dan kemudian matanya menerawang  dalam-dalam. Ia tahu sedang diamat-amati intel Belanda namun  penilaian Belanda sama sekali salah, ia diperkirakan akan  memperjuangkan Yogya sebagai daerah otonom dibawah Belanda atau diam-  diam ingin menjadi Presiden Republik Indonesia. Padahal apa yang  dilakukan Sultan adalah bentuk pengabdian Raja Jawa terhadap kehendak  sejarah. Dan Belanda kurang paham terhadap bentuk pengabdian ini. Sri  Sultan betul-betul ingin mengabdi pada Republik Indonesia bukan  mengejar ambisinya. Tangan kanan Sri Sultan memegang dagu-nya yang  agak lancip itu lalu dia berkata pelan pada Letkol Suharto.  “Mas Harto apa bisa dilakukan serangan besar-besaran ke Yogyakarta?”  “Maksud Sinuwun?” Suharto balik bertanya.  “Serangan pendadakan agar Belanda tahu Republik masih ada”  “Hmmm…saya usahaken”  “Berapa pasukan yang kamu punya?”  “Kalau dihitung-hitung yang bisa saya kerahkan dari SubWehrkreis saya  sekitar dua ribu orang”  “Hmmm…dua ribu cukup”  “Memang Sinuwun mau merencanakan apa?”  “Saya menginginkan agar TNI bisa masuk ke dalam kota dan merebut  semua tempat yang dikuasai Belanda terutama gudang senjata yang ada  di Pabrik Waston itu, juga beberapa titik penting seperti Stasiun  Kereta Api, Jalan Malioboro dan Benteng Vredenburg”  Suharto terdiam sejenak dia berpikir dalam-dalam. Suharto adalah ahli  strategi dia tidak akan mengambil keputusan bila keputusan itu tidak  akan ia menangkan. Ia bukan tipe pengambil spekulasi yang untung-  untungan ia harus paham situasi. Namun yang dihadapinya adalah Sri  Sultan, Rajanya. Ia juga berpikir bahwa inti kekuatan pasukan Belanda  adalah KNIL pribumi kebanyakan dari Ambon, yang juga agak tak yakin  dengan Belanda, bagaimanapun orang-orang pribumi itu dalam hatinya  memihak Republik. Yang ditakutkan Suharto justru pasukan Marinir  Belanda yang sudah dididik di Virginia Amerika.  “Berapa jam yang dibutuhkan pasukan bantuan Belanda dari luar Yogya  terutama yang di Semarang itu bisa tiba ke Yogya?”  “empat jam mungkin mereka akan sampai ke Yogya dan langsung membantu  pertempuran”  “Kamu bisa kuasai Yogya selama enam Jam, Mas Harto?”  “Bisa Sinuwun”  “Kamu sanggup?”  “Sanggup sinuwun”  “Sekarang laksanakan” Sri Sultan adalah Menteri Pertahanan pada  kabinet Hatta dia mengerti problem-problem kekuatan angkatan perang  kita. Dan dengan strategi perebutan kota Yogyakarta diharapkan LN  Palar wakil Indonesia di luar negeri punya dukungan fakta bahwa  Indonesia masih ada.  Suharto mengkonsolidasi pasukannya. Harto merasa senang karena  pasukan-pasukannya masih utuh. Apalagi ada pasukan Pesindo eks  pelarian peristiwa Madiun dibawah pimpinan Kapten Latief yang  terkenal berani (Kapten Latief ini kelak tersangkut perkara G 30 S  saat peristiwa terjadi dia berpangkat Kolonel dan menjabat Komandan  Brigade Infanteri Kodam V Jaya). Disamping itu ada pasukan dari  Pramoedji yang ada di Godean, Marsoedi dan Amir Moertono. Pemuda-  pemuda Pakuningratan no.60 juga siap membantu mereka ini tergabung  dalam Pesindo dan dididik oleh jago Sosialis Djohan Sjahroezah,  Letkol Suharto jaman awal kemerdekaan sering juga ke Pathook disitu  juga ada Sjam Kamaruzaman, seorang polisi yang juga kemudian menjadi  intel dan banyak tahu perkembangan politik (pada peristiwa G 30 S,  Sjam mengambil peranan penting dan dianggap missing link dari  rangkaian kejadian di Lubang Buaya pada pagi dini hari 1 Oktober  1965). Di Pathook-lah nama Suharto mulai mengorbit dia diperintahkan  oleh pemerintah Republik untuk melakukan serangan militer ke gudang  senjata di Kotabaru, tanggal 7 Oktober 1945. Kapten Suharto -yang  juga jebolan sekolah KNIL di Bogor- memimpin serangan ke Kotabaru  dan sukses besar. Inilah yang kemudian mendukung kelancaran karir  Suharto sampai ia diangkat menjadi komandan pasukan pengamanan kota  Yogyakarta, dimana dia banyak berjumpa dengan penggede-penggede  Republik yang baru saja hijrah dari Jakarta ke Yogya. Pada  penangkapan Jenderal Sudharsono yang menentang pemerintahan kabinet  Sjahrir dan bersimpati pada Tan Malaka, Suharto yang mengatur dan ini  membuat Presiden Sukarno menyenangi perwira yang sering  disebutnya `Koppeg’ ini.  Sejak usainya geger Madiun 1948 yang dilanjutkan dengan langkah-  langkah reorganisasi di tubuh tentara termasuk Divisi Diponegoro.  Suharto sendiri memimpin Brigade III yang terkenal sebagai `Brigade  Suharto’. Salah satu tugas penting Brigade III ini adalah mengamankan  kota Yogyakarta, Suharto sebagai komandan Brigade menugaskan dua dari  empat Batalionnya sebagai pasukan kota Yogyakarta. Unsur-unsur  Batalion pengaman Yogyakarta terdiri dari taruna-taruna Akmil, unusr-  unsur Angkatan Darat dan Angkatan Laut, Polisi Militer dan sejumlah  sisa laskar Brigade Martono yang sudah di demobilisasi. Sementara  pasukan dibawah Sudarmo dan Sruhardoyo ditempatkan di Bagelen,  pasukan ini berperan penting nantinya pada serangan umum 1 Maret  1949. Namun sesaat sesudah agresi militer Belanda akhir tahun  Desember 1948 Divisi III Diponegoro dirombak lagi oleh Panglimanya  Kolonel Bambang Sugeng, Letkol Suharto sendiri kebagian tanggung  jawab menjadi Komandan Wehrkreis (WK) III yang membawahi enam SWK  (Subwehrkreis) : Satu bertanggung jawab untuk wilayah sekitar kota,  dua untuk wilayah sekitar Bantul, dua untuk wilayah Sleman dan satu  lagi bertanggung jawab atas daerah Wonosari dan Maguwo. Suharto  sendiri mendirikan markasnya berpindah-pindah namun dia sering  terlihat di sekitar pegunungan Menoreh Bantul. Kolonel TB Simatupang  pernah mengunjungi markasnya di Gamping dekat perbatasan barat kota.  Lemahnya pertahanan kota Yogyakarta bukan tidak menimbulkan protes.  Rakyat banyak kecewa karena lemahnya pertahanan kota Yogya oleh  pasukan TNI dan tudingan ini diarahkan pada komandan kota Yogya,  Suharto. Letkol Abdul Latief Hendraningrat komandan pasukan pengawal  Kepresidenan ( seorang pengerek bendera merah putih pada proklamasi  17 Agustus 1945) sendiri terbengong-bengong melihat sama sekali tidak  adanya pasukan yang membangun barikade di sekitar Malioboro pada saat  penyerbuan pasukan Belanda. Letkol Latief dengan mengendarai jeepnya  ke rumah Jenderal Sudirman dan ikut Jenderal Sudirman mengungsi  keluar kota setelah tahu keputusan Presiden Sukarno untuk menyerahkan  diri pada pasukan Belanda. Kepada perwira-perwira di dalam rumah  Jenderal Sudirman Latief menanyakan “Dimana pasukan-pasukan Yogya,  mana Suharto?”.  AH Nasution pun jengkel atas kelambanan pasukan dalam kota Yogya. Di  kemudian hari pada tahun 1990 dalam wawancaranya dengan wartawan  asing ia mengkritik Suharto terlalu lamban dan tidak bisa cepat  melakukan antisipasi terhadap serangan mendadak Belanda atas kota  Yogya. AH Nasution membangun markasnya di sekitar Prambanan, namun ia  tidak bisa melakukan koordinasi terhadap pasukan-pasukan di sekitar  Jawa Tengah, inisiatif tempur diserahkan pada komandan unit masing-  masing. Dan memang sepanjang awal tahun 1949 serangan-serangan ke  dalam kota Yogyakarta terus dilancarkan namun serangan ini banyak  dari pasukan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) dimana Kahar  Muzakar komandan Brigade XVI yang terkenal nekat sering melakukan  gempuran-gempuran ke dalam kota Yogya. Tercatat sepanjang bulan  Januari-Februari Pasukan Brigade T Belanda tewas 157 orang dan 194  terluka parah.  Disamping menerima Suharto, Sri Sultan terus mengatur gerakan bawah  tanah, termasuk membongkar penutup-penutup besi gorong-gorong kota  yang sudah di las Belanda kobang-lobang gorong kota digunakan untuk  jalur penyusupan dadakan pada saat perang besar yang sudah  direncanakan. Sri Sultan juga mengatur pengiriman senjata kepada  pasukan-pasukan Republik, beberapa senjata selundupan berhasil masuk  ke dalam kota. Sesungguhnya sejak pengungsian Jenderal Sudirman ke  pedalaman Jawa Tengah, masih banyak tentara republik yang berkeliaran  di dalam kota, mereka menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Dan  perintah penyerangan itu berasal dari Sri Sultan. Disinilah makna  ucapan Bung Karno `Bung Sultan tetap tinggal di Yogya’ :  1. Sultan adalah Pemimpin Republik Indonesia, anggota Kabinet  Hatta sebagai Menteri Pertahanan. Ini artinya Sri Sultan HB IX adalah  wakil sesungguhnya Republik di ibukota Yogyakarta. Dan berarti  pemerintahan Negara RI di Ibukota Yogyakarta masih ada.  2. Sebagai bentuk pengalihan perhatian agar perhatian Belanda  terkecoh bahwa kekuatan RI sesungguhnya ada di Keraton Yogyakarta,  maka dibentuklah Pemerintahan Darurat RI yang juga merupakan  pemerintahan sah. Namun efektivitas PDRI tidak berjalan baik karena  berada di luar Jawa disamping beberapa pasukan PDRI masih sibuk  bertempur melawan kekuatan Mollinger.  3. Bung Karno tahu bahwa Sri Sultan HB IX jagonya gerakan bawah  tanah dan dia punya senjata pamungkas yaitu : Pertemanannya dengan  Sri Ratu Juliana, dimana Bung Karno sendiripun tidak bisa mendekat  pada Sri Ratu karena cap kolaborator di Jaman Jepang.  4. Dengan mempertahankan Sri Sultan di dalam kota ini berarti  komando pemerintah masih di tangan Sultan. Sudirman yang orang Jawa  pasti akan memandang Sri Sultan dan tidak akan melakukan serangan  yang kurang terpadu. Semua serangan di koordinasikan pada satu titik  yaitu : Merebut kota Yogyakarta.  Keempat faktor inilah yang merupakan peranan paling penting dalam  memahami perjuangan Sri Sultan HB IX dimana pada saat yang genting  dia menyelamatkan eksistensi Republik Indonesia. Untuk menghargai  peran Sri Sultan HB IX ini, pemerintah RI menugaskan Sri Sultan HB IX  menerima surat dan menandatangani pengakuan kedaulatan RI pada  tanggal 29 Desember 1949 di Istana Merdeka. Beliau pula yang  menjemput Bung Karno dari Kemayoran untuk bersama-sama menuju Istana  Kemenangan bangsa Indonesia, Istana Merdeka. Kedatangan dua orang ini  disambut jutaan penduduk Jakarta dan luar Jakarta yang kemudian  menyemut mengerumuni mobil yang ditumpangi Bung Karno dan Sri Sultan.  Klimaksnya dengan mengenakan pakaian putih-putih dan sepatu putih  Bung Karno berteriak lantang : Alhamdullilah. ..sekarang kita  MERDEKA!!!!! !  Serangan Umum Versi Suharto dan Versi lainnya  Namun benarlah kata banyak orang, sejarah tergantung siapa yang  berkuasa. Ketika Suharto berhasil menjadi Presiden Republik  Indonesia. Ia beranggapan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 itu murni  merupakan idee dari Suharto dan bukan dari siapa-siapa ini berarti  menafikan peran atasannya sendiri di luar Sudirman : Sri Sultan HB  IX, AH Nasution, dan Bambang Sugeng. Tiga orang ini merupakan atasan  Suharto dan tentunya tahu apa yang terjadi sesungguhnya pada  peristiwa 1 Maret 1949. Sri Sultan HB IX adalah Menteri Pertahanan  pada kabinet Hatta, orang yang berperan penting dalam reorganisasi  ABRI, AH Nasution adalah Panglima Komando Djawa, seluruh pasukan di  Djawa dibawah komando Nasution, sementara Bambang Sugeng adalah  Panglima Divisi Djawa Tengah, berarti Bambang Sugeng merupakan atasan  langsung Suharto. Tidak tertutup kemungkinan di luar sepengetahuan  Suharto, Sri Sultan juga menjalin kontak dengan Kolonel Nasution,  Bambang Sugeng dan tentunya Sudirman. Sri Sultan HB IX juga paham  kekuatan tentara-tentara RI yang menyusup dan tinggal di dalam kota.  Sementara Suharto hanya satu diantara beberapa elemen strategi  Sultan. Tapi ketika Suharto berhasil menjabat menjadi Presiden dengan  santai Suharto berkata “Tidak percaya toh, bahwa yang melakukan  inisiatif serangan adalah seorang komandan Brigade”  Suharto mengakui bahwa ia menemui Sri Sultan, tapi pertemuan itu  berlangsung sesudah serangan selesai bukan menjelang serangan. Dan  apa yang berlangsung dari jam 6.00 Pagi sampai 12.00 siang adalah  idee dia untuk menguasai Yogyakarta agar menjadi bahan perdebatan  oleh LN Palar di PBB. Pernyataan ini menimbulkan kehebohan luar biasa  bahkan berlangsung sampai saat ini dimana pertanyaannya berpusar  pada : Siapa pencetus ide serangan umum 11 Maret 1949.  Tahun 1985 ketika Film Janur Kuning (Produksi thn. 1979) sedang asyik  ditonton orang Indonesia ada kehebohan di muka publik siapa pemeran  sesungguhnya dalam peristiwa Serangan umum 1 Maret 1949. : Suharto,  Sri Sultan HB IX, Bambang Sugeng atau Nasution. Kejadian ini dimulai  ketika eks Walikota Yogyakarta Soedarisma Poerwokoesomo yang menjabat  dari tahun 1947-1966 dalam wawancaranya dengan Harian Suara Merdeka  terbitan Semarang tanggal 15 Oktober 1985 mempertanyakan peran  Suharto?. Kehebohan itu ditanggapi dingin oleh Suharto dengan  menantang “Tanyakan saja kepada yang masih hidup, apakah mereka  memberikan komando Serangan Umum 1949 atau tidak?”  Namun Sri Sultan HB IX dengan bahasa halus membantah serangan umum  itu berasal dari Suharto ia sendiri berkata pada Oei Tjoe Tat salah  seorang Menteri Negara era Demokrasi Terpimpin yang kemudian ditulis  dalam buku `Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Sukarno’  kutipannya begini :  “Gimana Toh, Apa mungkin seorang dalam hutan, lagi pula sedang  bergerilya, punya kesempatan mengikuti dengan cermat siaran-siaran  radio BBC, apalagi dalam bahasa asing? Apa waktu itu orang sudah  mahir berbahasa asing? Sayalah yang semula membicarakan gagasan itu  dengan Jenderal Sudirman yaitu mendapatkan ijinnya untuk kontak  langsung dengan Suharto, ketika itu Suharto berpangkat Mayor. Gagasan  ini kelak berwujud Operasi enam Jam di Yogya”  Ingatan Sri Sultan bahwa Suharto waktu itu berpangkat Mayor bukan  Letkol karena memang jabatan Letkol yang diberikan tahun 1946 belum  dipastikan legalitasnya. Jabatan Suharto menjadi Letnan Kolonel legal  baru diputuskan pada awal tahun 1950.  Namun diluar arus Suharto-Sri Sultan sebagai penggagas Serangan Umum,  ada versi lain yaitu dari TB Simatupang bahwa serangan umum adalah  gagasan dari hasil diskusi antara TB Simatupang dengan Kolonel  Bambang Sugeng Panglima Divisi III Jawa Tengah.  Serangan Umum 1949  Terlepas dari `perang sejarah’ siapa penggagas serangan umum  Yogyakarta, serangan ini memiliki dimensi tempur yang dahsyat untuk  perang dalam kota. Baik Belanda maupun pihak Indonesia belum  sepenuhnya berpengalaman dalam perang head to head ini. Sebelum  perang kota 1 Maret 1949, sekelompok pasukan dibawah pimpinan seorang  Sersan (dalam film Janur Kuning diperankan dengan baik oleh Amak  Baldjun) menyerang ke dalam kota. Sersan itu lupa bahwa tahun 1949  adalah tahun kabisat jadi bulan februari habis sampai tanggal 29  bukan tanggal 28. Penyerbuan ini membuat tiga orang tewas di pihak  TNI namun Belanda belum sadar akan ada serangan besar-besaran pada  pagi hari 1 Maret 1949.  Sri Sultan sendiri sejak dua minggu sebelum hari H mulai membuka  pintu Keraton, banyak tentara TNI yang menyusup ke dalam kota  berlindung di balik tembok-tembok keraton yang tebal itu dan  menyiapkan senjatanya. Kompleks keraton diam-diam dijadikan pusat  serangan dimana perwira-perwira banyak berlindung ke dalam keraton,  sementara di sekitar Malioboro dan pusat kota lainnya mulai  berdatangan tentara-tentara yang sudah menyamar. Disekitar  Lempuyangan, Kadipiro, Kotabaru dan Kali Code banyak penyusup sudah  mempersiapkan diri. Penyusupan sendiri sudah berlangsung selama dua  minggu sebelum hari H. Suharto memutuskan untuk membuka markasnya di  sektor barat Yogya, di daerah Godean disitu ada Mayor KRIS HN Ventje  Sumual yang memegang sektor barat kota. Di sektor utara dipegang  Mayor Kusno sementara di timur dipegang oleh Batalyon Sujono. Amir  Murtono dan Marsudi ditugaskan mengkonsolidasi pasukan yang bercerai  berai di dalam kota.  Tanda serangan dimulai pada saat sirene jam malam mulai berbunyi.  Titik-titik kekuatan pasukan Brigade T (Brigade T adalah pasukan  pimpinan Van Langen yang menguasai garis pertempuran Yogyakarta-  Magelang-Temanggung ). Tembakan pertama dimulai di sekitar stasiun  Tugu. Di sana Pos-Pos Belanda banyak bertebaran dan ada konsentrasi  kekuatan besar di sekitar Stasiun Tugu. Belanda yang dikejutkan  serangan dadakan ini membalas dengan tembakan asal-asalan. Beberapa  pasukan keluar dengan menggunakan panser dan berjalan masuk ke arah  Tugu Malioboro namun belum sampai tugu pasukan belanda yang hanya  berkekuatan setengah kompi itu diserang sengit kekuatan dari arah  toko-toko dan perumahan penduduk. Perwira Belanda yang bergerak  dengan jeepnya ke arah utara kota terperangah karena dimana-mana  sudah berkibar bendera merah putih sementara beberapa pasukan Belanda  di pos-pos kecil terjebak pertempuran sengit. Jalan-jalan dipasangi  kayu, kursi, tempat tidur dan pohon-pohon yang ditebangi untuk  menghambat lajunya pasukan Belanda. Di atas pohon, di dalam parit, di  halaman-halaman rumah penduduk dan di balik sumur tiba-tiba banyak  tentara TNI bermunculan, pertempuran sampai masuk ke lorong-lorong  sempit di dalam kota. Kejar-kejaran terjadi bahkan sampai ada  perkelahian fisik antara tentara Belanda dengan prajurit TNI yang  masing-masing menggunakan sangkur.  Menjelang jam 7.00 pagi pertempuran sengit terjadi di sekitar Pabrik  Waston tempat amunisi Belanda banyak tersimpan tidak sampai satu jam  pasukan Belanda bisa dipukul mundur. Benteng Vredenburg pun berhasil  direbut tentara RI. Sri Sultan duduk hatinya tegang bersama dengan  kakaknya Pangeran Prabuningrat di Siti Hinggil ia berkali-kali  disambangi perwira-perwira TNI melaporkan jalannya pertempuran.  Belanda mengarahkan serangannya ke Keraton karena banyak laporan yang  datang ke meja perwira Belanda bahwa pasukan TNI banyak bersembunyi  disekitar Buiten Keraton. Di sekitar alun-alun utara Keraton Yogya  banyak konsentrasi pasukan TNI.  Perang besar juga terjadi di wilayah barat, bahkan wilayah ini sangat  sulit ditundukkan dalam beberapa jam pasukan Belanda mundur dari  sektor barat dan berlari ke tengah kota namun sekitar seratus tentara  TNI berhasil mengejar mereka dan tembak-menembak terjadi di sekitar  tengah kota sampai dekat Grand Hotel. Di Grand Hotel itulah Kahin  tinggal, Profesor ilmu politik Indonesia dari Amerika Serikat paling  legendaris yang mencatat semua kejadian pada pagi hari tanggal 1  Maret 1949.  Suharto dalam otobiografinya mengklaim bahwa dia memimpin serangan  langsung, bahkan dengan gagah dia berada di depan front pertempuran  dengan senapan otomatis Owen kebanggaannya. Anak buahnya mengira Pak  Harto kebal peluru karena berani bertempur di garis depan. Tapi apa  benar Pak Harto bertempur di garis depan, menurut Kolonel Abdul  Latief dalam pledoinya yang dibacakan pada Mahkamah Militer pada  tanggal 1 Agustus 1978 dia berkata dalam pembelaannya :  “….Tepat pada tanggal 1 Maret pasukan saya mendapat perintah dari  komandan Wehrkreis Letkol Suharto, untuk menyerang dan menduduki  sepanjang jalan Malioboro, dari mulai Stasiun Tugu sampai dengan  Pasar Besar dekat Istana Yogyakarta. Setelah dapat menduduki seperti  yang telah diperintahkan gedung-gedung besar serta toko-toko sedianya  akan saya bakar sesuai dengan politik bumi hangus. Akan tetapi  mengingat keadaan sekeliling adalah rumah-rumah rakyat yang terdiri  dari bambu yang mudah terbakar, maka tersebut saya batalkan.  Pertempuran terus berlangsung dan tentara Belanda mengadakan serangan  balas, pertempuran terjadi antar rumah ke rumah, dan akhirnya pasukan  saya mundur keluar kota, dan sebagian masih di dalam kota. Korban 12  orang, 5 orang gugur dan 50 orang pasukan pemuda-pemuda gerilya kota  gugur ditembak tentara Belanda.  Setelah dapat keluar kota di desa Sudagaran atau Kuncen kira-kira  antara pukul 12.00 siang bertemulah saya dengan komandan Wehrkreise  III Letkol Suharto yang sedang menikmati makan soto babat. Setelah  melaporkan hasil pelaksanaan serangan umum itu, maka komandan  memerintahkan lagi, agar tentara Belanda yang berada di Makam Kuncen  itu dihalau/diserang sekalipun saya belum sempat konsolidasi, dan  pasukan saya hanya tersisa 10 orang, perintah saya laksanakan. Dan  kemudian komandan sektor Letkol Suharto kembali ke pangkalan… ….”  Apa yang diucapkan oleh Latief dalam pledoi ini menyiratkan Suharto  tidak berada di garis depan pada waktu itu. Yang berjibaku ya anak  buah Suharto seperti Latief, Pramuji, Sujono, Marsudi dan  Ventje.Namun bagaimanapun harus diakui serangan umum 1 Maret 1949  merupakan strategi yang sangat cerdas, walaupun korban gugurnya 192  sampai 375 orang dari pihak TNI sementara di pihak Belanda 6 orang  tewas. Perang dalam kota berakhir ketika pasukan khusus Gajah Merah  pimpinan Kolonel Van Zanten yang datang dari Semarang memasuki dalam  kota Yogya, semua pasukan TNI ditarik mundur namun sampai malam hari  masih ada saja tembakan-tembakan gelap membahana dari rumah-rumah  penduduk. Tujuan politik perang itu tercapai Belanda harus mengakui  di depan forum PBB bahwa Republik masih ada.  Setelah perang itu berlangsung beberapa perundingan dan diam-diam  Amerika Serikat menekan Belanda untuk segera keluar dari Yogyakarta.  Belanda akhirnya menyerah dan keluar dari Yogya sekitar bulan Juni,  tanggal 8 Juni 1949 Sri Sultan atas perintah PDRI menghentikan semua  pertempuran bersenjata dengan RI. Atas nama PDRI Sri Sultan  mengadakan pengumuman gencatan bersenjata. Dan pada tanggal 30 Juni  1949 Sri Sultan menandatangani penarikan pasukan Belanda dari kota  Yogya. Dalam cerita penarikan pasukan ini ada legenda yang banyak  diyakini orang Yogya. Bahwa Sri Sultan bisa menjadi enam orang di  tempat yang bersamaan, ini karena dalam tempo yang sama persis Sri  Sultan ada di enam sektor yang lokasinya berjauhan.  Suharto yang memimpin serangan umum mendapat surat selamat dari  perwira-perwira lainnya dan serangan umum atas Yogya menjadi  inspirasi pada perwira-perwira lainnya untuk melakukan serangan-  serangan ke markas Belanda. Sudirman sendiri menulis surat kepada AH  Nasution bahwa : “Suharto merupakan bunga pertempuran” .  Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Hatta serta rombongan lain yang  ditangkap akhirnya dilepaskan Belanda dan kembali ke Yogyakarta pada  tanggal 6 Juli 1949 disambut langsung dengan Sri Sultan. Di kota  Yogya semuanya dibawah kendali penuh 2.000 orang pasukan di bawah  komando Suharto. Pada awalnya Sri Sultan meminta agar Yogyakarta  dibawah pengawasan Kepolisian yang berkekuatan 600 orang, namun  Suharto menolak karena dianggap keadaan belum sepenuhnya aman.  Penolakan Suharto ini merupakan kemenangan politis Suharto terhadap  Sri Sultan dan Jenderal Djatikusumo untuk menguasai kota Yogya  setidak-tidaknya sampai Jenderal Sudirman turun gunung. Jenderal  Sudirman yang enggan turun gunung karena kecewa dengan sikap Sukarno  yang mau menyerah pada Belanda, dikirim surat berkali-kali oleh  penggede Republik agar mau turun gunung tapi Sudirman masih ngambek.  Barulah ketika Sri Sultan mengirim surat melalui Suharto agar  Sudirman turun gunung dan bertemu dengan Presiden, Sudirman menuruti  kemauan Sultan atas dasar hormatnya pada Raja Jawa. Di Istana  Yogyakarta, Sri Sultan menyambut Sudirman dan mengantarkannya pada  Bung Karno. Kedua tokoh ini-pun berpelukan sambil menangis.  Kemudian Sudirman diajak melihat parade pasukan Suharto di alun-alun  Yogyakarta bersama Pemimpin PDRI yang telah menyerahkan mandat  kekuasaannya pada Bung Karno Sjafrudin Prawiranegara. Suharto  terlihat menahan air mata ketika pasukan kehormatan berjalan  menghormat pada Sudirman.  Apapun yang terjadi perang 1 Maret 1949 merupakan sebuah episode  penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Peran Sri Sultan  HB IX tidak bisa dilupakan sebagai tokoh yang sederhana Sri Sultan  dipuja dimana-mana, bahkan di Minangkabau kehadiran Sri Sultan  disambut penuh haru, ribuan rakyat Minang mengelu-elukan Sri Sultan  yang berkunjung ke Padang, disana Sri Sultan dibopong dan  teriakan “Merdeka…Merdeka. ..Merdeka” berkumandang dimana-mana. Sri  Sultan bukan saja tokoh lokal Jawa, tapi kepemimpinannya diakui  secara nasional.  Kepribadian dan Karir Politik Sri Sultan  Ada cerita-cerita rakyat mengenai Sri Sultan tentang kesederhanaannya  yang banyak beredar di kalangan rakyat Yogya. Sri Sultan ini  kegemarannya naik mobil baik jenis besar maupun kecil. Dulu yang  namanya angkutan kota tidak ada seragamnya, semua bentuknya sama.  Ketika Sri Sultan sedang berjalan-jalan dengan mobilnya ia dihentikan  oleh seorang perempuan separuh umur. Ibu-ibu itu mengira Sri Sultan  adalah sopir angkutan sayur. Mobil berhenti, Sri Sultan bertanya “Ada  apa Bu…?”  “Ini Pak Sopir tolong naikkan karung-karung sayur saya mau antar  barang ini ke Pasar Beringhardjo” Sri Sultan yang mengenakan kaca  mata hitam tersenyum dan turun ia pun mengangkut karung-karung sayur  itu. Setelah karung-karung sayur dinaikkan Ibu itu juga naik ke dalam  mobil dan duduk di belakang. Setelah sampai depan pasar Beringhardjo  Sri Sultan turun dan mengangkut karung-karung itu sampai ke dalam  pasar, si Ibu itu berjalan di depannya. Seorang mantri polisi  memperhatikan dengan cermat kejadian itu. Setelah karung-karung sayur  ditaruh ditempatnya, Ibu itu bertanya “Berapa ongkosnya, Pak Sopir?”  “Wah…ndak usah Bu”  “Walaah…Pak Sopir…Pak Sopir kayak ndak butuh uang saja?”  “Sudah tidak bu terima kasih”  “Lho, kurang tho…biasanya saya ngasihnya juga segini?” kata Ibu itu  yang mengira sopir itu menolak uangnya karena kecewa pemberiannya  kurang.  “Ndak…apa- apa Bu, saya cuma membantu”  “Sudah merasa kaya, tho..Pak Sopir?, ndak mau terima uang” kata si  Ibu sinis. Sri Sultan tersenyum dan kemudian pamit keluar pasar. Saat  Sri Sultan pergi si Ibu masih saja ngedumel “Dasar Sopir gemblung  dikasih duit ndak mau” ujar Ibu itu sambil memberesi karung-karung  sayurannya. Mantri Polisi yang sedari tadi mengamati peristiwa itu  mendekati Ibu pedagang sayur itu.  “Bu…tadi Ibu tahu bicara dengan siapa?”  “Dengan…siapa. ..ya dengan Pak Sopir..piye tho sampeyan iki (gimana  sih kamu)”  “Ibu tahu, tadi ibu bicara kaliyan sing nduwe ringin kembar kuwi..  (tadi ibu bicara dengan yang punya beringin kembar itu)” Mantri  Polisi itu menunjuk ke arah beringin kembar di depan keraton Yogya.  Blaar …..kepala si Ibu bagai disambar petir….ia kaget langsung  pingsan dan kabarnya dia meninggal di tempat.  Sri Sultan juga sering mengendarai mobil sendiri dari Yogya-Jakarta  kadang-kadang ke Bandung. Di tengah jalan dia dihentikan seorang  polisi untuk pemeriksaan surat-surat. Sang Polisi sinis karena  mengemudi kok ndak sopan. Sri Sultan cuman pake celana kolor dan kaos  singlet saja. Saat melihat Rebuwesnya sang Polisi kaget setengah mati  dan langsung berdiri hormat langsung mempersilahkan jalan, Sri Sultan  tertawa dan mengangguk pada Pak Polisi.  Nama Sri Sultan sempat mencuat lagi karena ternyata dia menjadi  sasaran utama pembunuhan dari pemberontakan eks KNIL yang dipimpin  Westerling. Rencananya setelah melakukan gerakan di Bandung Angkatan  Perang Ratu Adil (APRA) akan masuk ke Jakarta dan membubarkan sidang  kabinet serta membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan HB IX. Namun  gerakan Westerling berhasil digagalkan pasukan Siliwangi dan hanya  bergerak di sekitar Lengkong serta Bandung kota.  Sepanjang masa-masa kabinet Parlementer dan Demokrasi terpimpin Sri  Sultan tidak begitu aktif lagi di politik. Kegiatannya yang sering  diliput media adalah menjadi Ketua Pramuka. Anak-anak Pramuka era 60-  an, termasuk Bondan Winarno (Jago makan di Wisata Kuliner itu)  memanggil Sri Sultan dengan sebutan “Kak Sultan”. Nama Sri Sultan  muncul lagi setelah G 30 S dan kekuasaan pelan-pelan di preteli Pak  Harto.  Rupanya Pak Harto kurang pede dengan dirinya untuk berhadapan  sendirian dengan Bung Karno. Untuk itu di bidang politik luar negeri  ia menggandeng Adam Malik dan di dalam negeri sebagai kharisma ia  meminjam Sri Sultan, jadilah Triumvirat Orde Baru yang terkenal itu :  Suharto-Sri Sultan HB IX dan Adam Malik. Waktu itu sepertinya Sri  Sultan tidak begitu paham dengan apa yang terjadi sesungguhnya dengan  Indonesia dan hal ini bukan Sri Sultan saja yang mengalami banyak  tokoh masih dalam suasana kalut. Yang jelas saat itu adalah  dimulainya pergeseran antara kekuasaan Sukarno ke Suharto. Dan  tampaknya Sri Sultan memihak pada Suharto dengan Orde Barunya. Bahkan  Sri Sultan tidak sabar dengan tindakan hati-hati Suharto terhadap  Bung Karno yang dinilai kurang tegas dan lamban. Dalam otobiografinya  Jenderal Kemal Idris menuturkan :  “Saya masih ingat, pada tahun 1966, ipar saya Widjatmiko datang ke  Kostrad mengabarkan bahwa saya dipanggil Sri Sultan Hamengkubuwono IX  di rumah Mashuri di Jalan Agus Salim, Jakarta. Disana sudah menunggu  Sri Sultan, Adam Malik dan Mashuri.  “Kemal kamu take over, ambil alih kekuasaan dari tangan Suharto” ujar  Sri Sultan.  (Kemal Idris, Bertarung dalam Revolusi hal.252)  Rupanya Sri Sultan tidak sabar dengan permainan Jenderal Suharto  menghadapi Bung Karno. Jauh-jauh hari kemudian ia keadaan menjadi  jelas kenapa Suharto begitu hati-hati menghadapi Bung Karno dan  terlalu lama maen petak umpet untuk mempreteli kekuasaan Sukarno yang  baru berhasil dimenangkannya tahun 1967. Ternyata Suharto mendeteksi  siapa lawan, siapa kawan. Karena bagi Suharto jelas Sukarno sudah  kalah, PKI habis maka musuh selanjutnya bukan dari pihak lawan tapi  yang dibelakangnya namun berpotensi tidak loyal termasuk kelompok  Jenderal elang yang dikemudian hari nasibnya kurang baik dibawah  kekuasaan Orde Baru terutama Jenderal HR Dharsono, pendukung fanatik  Orde Baru. Yang masa tuanya mengenaskan dan sempat dituduh oleh  Kopkamtib terlibat pengeboman Borobudur juga disangkutkan pada kasus  Priok.  Jika Andi F. Noya mengira-ngira apa maksud Sultan sesungguhnya  menolak menjadi Wapres di hari-hari penentuan 1978 yang kemudian  digantikan oleh Adam Malik adalah masalah peristiwa Malari 1974 atau  masalah korupsi dimana keluarga Presiden mulai banyak terlibat  sesungguhnya kurang begitu tepat. Ada keyakinan di kalangan politisi-  politisi senior dan orang yang ngerti politik bahwa Sri Sultan  menolak menjadi Wapres di tahun 1978 karena menolak ia ikut rezim  Suharto yang berlumuran darah.  Apa yang dimaksud berlumuran darah. Mengingat kejadiannya tahun 1978  berarti kemungkinan yang dimaksud Sri Sultan adalah masa pasca G 30 S  dimana banyak pembantaian terjadi dan alur cerita G 30 S yang  sebenarnya sudah mulai terkuak terutama dari saksi-saksi sejarah.  Apalagi pada tahun 1978 banyak tawanan dari Pulau Buru dibebaskan.  Sejak tahun 1978 Sri Sultan menolak aktif berpolitik kecuali sebagai  Ketua KONI.  Beliau meninggal awal September 1988 di Amerika Serikat dan prosesi  pemakamannya di tangisi jutaan orang Indonesia, mengingatkan pada  prosesi pemakaman Bung Karno dan Bung Hatta yang juga ditangisi  jutaan orang Indonesia. Saat mangkatnya Raja Agung Binatara itu  sepertinya hubungan Suharto dan Sri Sultan HB IX kurang begitu baik.  Suharto sendiri sambil lalu saja memperhatikan mangkat Rajanya itu.  Kemudian Sri Sultan HB IX digantikan Herdjuno Darpito yang wajahnya  di tahun 1988 mirip dengan Deddy Mizwar bintang fim muda yang sedang  naik daun karena film `Nagabonar’ dan `Kejarlah Aku Kau Kutangkap’.  Satu-satunya foto putera Sri Sultan HB IX adalah Herdjuno Darpito ini  mengingatkan pada otobiografi Bung Karno yang ditulis Cindy Adams  dimana hanya Megawati yang di potret berdua bersama Bung Karno.  Akankah Mas Djun atau Sri Sultan Hamengkubuwono X maju lagi ke kancah  politik nasional, waktulah yang akan menjawab.  Sumber: http://groups. yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/
wah berguna sekali infonya.
ReplyDeletehttp://fokuz9.blogspot.com/