Kisah Perjalanan Hidup Gus Miek

Kisah Perjalanan Hidup Gus Miek memang selalu menarik untuk dibaca. Seorang Ulama Besar Pendiri dan Penanggung jawab tunggal Sema'an Al Qur'an memang patut untuk diacungi jempol kiprahnya dalam dunia dakwah.

Gus Miek dalam usia 9 tahun sudah pernah ke pasuruan untuk mengunjungi KH. Hamid. Ini adalah sebuah pertemuan pertama yang sangat mengharukan. Saat itu Gus Miek telah beberapa hari tinggal di pondok KH. Hamid. Selama itu pula Gus Miek tidak pernah menjalankan shalat. Ia hanya tidur saja sepanjang hari. Oleh KH. Hamid, Gus Miek kemudian dibangunkan dan dimarahi agar menjalankan shalat. Gus miek lalu bangun, tetapi bukan untuk menjalankan shalat melainkan membaca perjalanan hidup KH. Hamid dari awal hingga akhir, termasuk mengenai kelebihan dan kekurangannya. KH. Hamid pun terkejut, kemudian memeluk Gus Miek dengan berurai air mata. Sejak saat itu, KH. Hamid sangat menyayangi Gus Miek dan memerintahkan semua muridnya agar apa pun yang dilakukan Gus Miek dibiarkan saja, bahkan kalau bisa dilayani semua kebutuhannya.

Suatu ketika, rombongan keluarga KH. Ahmad Siddiq yang tengah khusyuk ziarah ke makam Sunan Ampel terganggu oleh datangnya rombongan Gus Miek yang terdiri dari berbagai latar belakang kehidupannya. Rombongan yang cukup banyak itu sedikit gaduh sehingga mengganggu rombongan yang lain, termasuk rombongan KH. Ahmad Siddiq. Melihat rombongan Gus Miek yang campur aduk dan gaduh itu KH. Ahmad Siddik menyingkir lalu melanjutkan perjalanan ke Pasuruan menemui KH. Hamid yang masih merupakan kerabatnya. KH. Ahmad Siddiq kemudian bercerita kepada KH. Hamid bahwa dirinya telah bertemu dengan Gus Miek dan rombongannya saat ziarah di makam Sunan Ampel.

“Ya, Pak Kiai, begini, Gus Miek itu di atas saya,” jawab KH. Hamid setelah mendengar pengaduan KH. Ahmad Siddiq.

“Ah, masak?” tanya KH. Ahamd Siddiq tidak percaya karena KH. Hamid sudah sangat termasyhur keluhurannya di kalangan ulama tanah Jawa.

“Saya itu tugasnya ‘sowan’ kepada para kiai. Kalau Gus Miek itu tugasnya kepada bromocorah,” jawab KH. Hamid.

KH. Ahmad Siddiq hanya diam saja mendengarkan dan penuh keraguan.

“Benar, Pak Kiai. Gus Miek itu tugasnya kepada para bromocorah, para pemabuk, pejudi, perempuan nakal, dan orang-orang awam. Dan, untuk tugas seperti itu saya tidak sanggup,” tegas KH. Hamid.

Setelah mendengar jawaban KH. Hamid, KH. Ahmad Siddiq dengan perasaan yang berkecamuk langsung berangkat ke Ploso menemui KH. Djazuli untuk mengadukan jawaban KH. Hamid tersebut.

“Begini, Kiai Ahmad, saya dengan Gus Miek itu harus bagaimana?! Dulu, Kiai Watucongol juga menceritakan kehebatannya Gus Miek. Saya jadinya hanya bisa diam saja,” jawab KH. Djazuli.

Pada kasus lain diceritakan, KH. Ahmad Siddiq pernah mengadu kepada KH. Hamid tentang sepak terjang Gus Miek dan para pengikutnya karena kebetulan KH. Ahamad Siddik juga sering ke Tulungagung, di rumah mertuanya, sehingga ia sering melihat hal itu.

“Begini Pak Kiai, sampean kalau baik dengan saya, berarti juga harus baik dengan ‘sana’ karena ia kakakku. Sampean buka saja kitab ini halaman sekian,” jawab KH. Hamid. Akhirnya, KH. Ahmad Siddiq pulang dan membuka kitab yang telah sering dibacanya. KH. Ahmad Siddiq pun menjadi mengerti maksud dari kitab itu.

Setelah kekacauan akibat pemberontakan PKI mulai reda, Gus Miek dalam perkembangan dakwahnya mulai memasuki wilayah Pasuruan. Pertama kali masuk wilayah tersebut, Gus Miek menuju rumah KH. Hamid yang dikenal sebagai wali. Saat hendak naik mobil, dari Malang, Gus Miek mengirim bacaan Al-Fatehah kepada KH. Hamid. Selama dalam perjalanan, Gus Miek hanya diam saja sehingga para pengikutnya pun ikut diam membisu.

Tiba-tiba di pekarangan rumah KH. Hamid, Gus Miek tidak langsung bertemu, tatapi hanya mondar-mandir di jalan. Setelah beberapa lama, Gus Miek mengajak shalat di masjid, dan Gus Miek menjadi imam. Setelah salam, ada seorang laki-laki yang menyentuh pundak Amar Mujib dan bertanya.

“Maaf, orang itu apakah Kiai Hamim?”

Amar mengangguk.

“Gus, nanti tidur di sini ya? Nanti saya potongkan ayam, dan tidur dengan saya satu rumah,” kata lelaki itu yagn ternyata adalah KH. Hamid. KH. Hamid ternyata tidak mengenali Gus Miek yang duduk-duduk dan mondar-mandir di pekarangan karena penampilan Gus Miek sudah sangat jauh berbeda dengan saat ketika ia sering mengunjungi KH. Hamid belasan tahun silam. Saat itu, Gus Miek masih muda belia dengan pakaian lusuh dan rambut panjang. Pertemuan pertama Gus Miek dengan KH. Hamid adalah saat Gus Miek berusia sekitar 9 tahun.

Gus Miek lalu bertamu ke rumah KH. Hamid. Keduanya asyik berbincang tanpa memedulikan tamu-tamu yang lain. Puluhan tamu menunggu untuk bertemu KH. Hamid, tetapi tidak dipedulikan sampai akhirnya datang Kiai Dhofir.

“Mid, Hamid!” Kiai Dhofir memanggil.

Gus Miek terlihat sangat marah, mukanya merah padam, matanya tajam menatap Kiai Dhofir. Gus Miek dengan tergesa-gesa pamit pulang. Dalam perjalanan, Gus Miek dengan nada emosi berkata: “Masya Allah, siapa tamu tadi, kok tidak punya tata karma!”

“Mungkin karena Kiai Hamid adalah kemenakannya,” Amar menanggapi emosi Gus Miek.

“Walaupun kemenakannya saya tidak terima. Kiai Hamid itu kiai dan juga termasuk wali.” Jawab Gus Miek masih dalam keadaan emosi.

Setelah emosinya mereda, Gus Miek berkata: “Mar, kata Kiai Hamid, wali di sini yang paling tinggi adalah Husein, orangnya hitam. Tetapi, wali Husein berkata bahwa wali yang paling tinggi di sini adalah Kiai Hamid.”

Pada kesempatan yang lain, Gus Miek bersama ibnu Katsir Siroj dan Nototawar pergi ke Pasuruan untuk mencari Habib Ahmad as-Syaqaf. Hari itu hari Minggu, mereka berangkat dari Tulungagung pagi-pagi. Hampir seharian berputar-putar di Pasuruan, belum juga bisa bertemu alamatnya. Sudah ditemukan Habib Muhamad, tetapi belum ditemukan yang bermarga as Syaqaf. Hingga diputuskan” pokoknya yang aneh, khariqul ‘adah, dan yang jadzab! Sayang, tetap tidak bertemu juga.

Akhirnya, satu-satunya jalan adalah bertanya kepada KH. Hamid Pasuruan. Begitu tiba di rumah KH.hamid, dia sudah menyambut di depan pintu. “Hamim, wal qur’anil hakim,” sapa KH. Hamid sambil memeluk Gus Miek dan membimbingnya masuk.

Setelah di dalam rumah, KH. Hamid kemudian menyodorkan kain sarung Samarinda berwarna hijau kepada Gus Miek.

“Ini, Gus, saya beri sarung, silakan shalat dulu,” kata KH. Hamid .

Gus Miek dan kedua pengikutnya kemudian menuju ke masjid. Ketika saatnya mendirikan sholat, Gus Miek hilang dari pandangan. Dicari-cari tetap tidak ketemu. Akhirnya, keduanya shalat, tetapi begitu mengucapkan salam, ternyata Gus Miek sudah duduk bersila di sebelah Katsir. Sehabis shalat, keduanya menemui KH. Hamid.

“Wah, Gus, sampean telat. Tadi malam, tepat malam Jum’at, saya khataman Riyadh as-Shalihin dan didatangi Kanjeng Nabi,” kata KH. Hamid.


Gus Miek hanya tersenyum. KH. Hamid kemudian berdiri mengambil sesuatu di atas sebuah jam besar, lalu mengulurkan tangannya kepada Gus Miek dan kedua pengikutnya. KH. Hamid menyuruh Gus Miek mengambil satu, demikian juga dengan yang lain, lalu kemudian memintanya kembali.

Gus Miek, yang tadinya mengambil biji yang berada di tengah, ketika mengembalikan biji itu ke telapak tangan KH. Hamid berubah menjadi batu akik, sementara yan lain masih tetap berupa biji koro. Kemudian KH. Hamid mengembalikannya kepada masing-masing. Kepada Ibnu Katsir, KH. Hamid berpesan agar biji itu ditanam dan kelak bila sudah berbuah KH. Hamid akan datang berkunjung ke rumahnya.

Ketiganya lalu berpamitan dan segera mencari rumah Habib Muhamad as-syaqaf sebagaimana petunjuk KH. Hamid. Ternyata, rumahnya dekat sekali dengan rumah KH. Hamid. Tiba di rumah Habib Muhamad as-syaqaf, orangnya tinggi besar dengan suara yang keras dan lantang.

“Dari mana?” Tanya Habib Muhamad as-Syaqaf.

“Mau minta doa shalawat,” jawab Gus Miek.

“Apa belum shalat, di dalam shalat kan banyak shalawat dan banyak doa,” jawab Habib Muhamad as-Syaqaf.

Habib Muhamad as-Syaqaf kemudian berdiri dan menjalankan shalat. Akan tetapi, urut-urutan shalat yang dijalankan Habib Muhamad as-Syaqaf sungguh kacau balau menurut tata aturan syari’at fiqih pada umumnya.

Usai shalat, Habib Muhamad as-Syaqaf mengambil ceret berwarna keemasan dengan satu gelas besar dan tiga cangkir kecil. Habib Muhamad as-Syaqaf menuangkan kopi jahe khas Arab, lalu memberikan yang paling besar kepada Gus Miek dan disuruh menghabiskannya. Begitu Gus Miek meminum habis isi gelas besar itu, Habib Muhamad as-Syaqaf kembali menuangkan secara penuh, kembali Gus Miek menghabiskan. Kejadian tersebut terus berulang sehingga kedua pengikut Gus Miek menjadi keheranan, bagaimana mungkin ceret sekecil itu mempunyai isi yang sedemikian banyak, dan betapa kasihan Gus Miek harus meminum minuman yang tidak enak di lidah dan di perut itu sedemikian banyak, meski seolah Gus Miek tidak mersakan apa-apa. Setelah puas saling membuktikan kemampuannya, Habib Muhamad as-Syaqaf menyuruh Gus Miek berdoa dan dia mengamininya.

Di tengah perjalanan pulang, Ibnu Katsir Siroj memprotes Gus Miek mengenai peristiwa pemberian KH. Hamid. Seharusnya, menurut Ibnu Katsir, Gus Miek tidak mengambil biji yang tengah karena Gus Miek sudah sakti. Gus Miek menjelaskan, pada awalnya memang ingin mengambil yang pinggir, tetapi tiba-tiba ada suara “Khayrul umuri ausatbuha,” (sebaik-baik perkara adalah yang tengah). Lalu, Ibnu Katsir meminta sarung Gus Miek, tetapi Gus Miek tidak memberikannya karena ia kenang-kenangan dari KH. Hamid Pasuruan.

Setelah tiba dan tinggal kembali di Mangunsari, semakin hari semakin banyak pengikut Gus Miek, baik pengikut Lailiyah maupun santri jalanan yang simpati kepada Gus Miek. Gus Miek hanya menyarankan kepada mereka untuk mengunjungi orang-orang saleh sehingga kesadaran mereka bisa muncul dengan sendirinya. Misalkan berkunjung ke KH. Hamid Pasuruan, Gus Miek meminta Maskur menyampaikan salamnya kepada KH. Hamid. KH. Hamid yang memahami maksud Gus Miek, menerima salam itu sambil terlihat marah (ia tampak habis memarahi rombongan yang masih berada di pelataran rumahnya).

“Gus Miek siapa!” bentak KH. Hamid.

“Ploso,” jawab Maskur.

“Gus Miek itu siapa, sembahyang atau tidak,” bentak KH. Hamid.

“Ya, tidak tahu,” jawab Maskur.

“Anak siapa sih Gus Miek itu, ya sudah kamu tidak salah, saya juga tidak salah, sampaikan salam saya kepada Gus Miek,” kata KH. Hamid .

Maskur kemudian mencari Gus Miek ke Ploso, Mojoagung, Jember, Surabaya, Botoputih, tatapi tidak ketemu. Akhirnya, ia balik ke Setonogedong, Kediri. Setelah membaca surat Yasin, Gus Miek tiba-tiba muncul.

Pembicaraan KH. Hamid dengan Maskur beserta rombongannya tersebut juga disaksikan oleh seorang tamu yang meragukan shalat Gus Miek, ingin menemui KH. Hamid untuk menanyakan hal itu.

“Lho, itu yang kau tanyakan, itu kan Gus Miek, cepat minta maaf. Ayo, saya antarkan,” ajak KH. Hamid seperti gugup.

KH. Hamid kemudian membukakan jendela.

“Lihat, itu siapa yang shalat,” kata KH. Hamid.

Orang itu gemetar dan pucat karena melihat Gus miek tengah menjalankan shalat di pucuk pohon mangga, beralaskan daun-daun mangga.

“Sudah, cari Gus Miek dan minta maaf,” perintah KH. Hamid.

Orang itu pun terus mencari Gus Miek dan baru bertemu Gus Miek setelah dua tahun kemudian.

sumber informasi : blog.its.ac.id

No comments:

Post a Comment