Biografi Lengkap Syech Siti Jenar

Berikut ini adalah biografi lengkap dari salah satu wali yang sangat terkenal karena kontroversinya. Biografi Syech Siti Jenar selengkapnya sebagai berikut :

Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M di lingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban Larang waktu itu, yang sekarang lebih dikenal sebagai Astana Japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yang multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku. Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dengan kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah. Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yang dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yang berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yang mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yang diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing. 

Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]… Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa. Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yang berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut. Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yang semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yang bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut ke atas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. 

Dari silsilah yang ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yang menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana. Adapun Syekh Maulana ‘Isa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yang kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yang sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dengan sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil. Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat. Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yang sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi. Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yang saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu. Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yang diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dengan sepenuh hati, disertai dengan pendidikan otodidak bidang spiritual. Nasab Syekh Siti Jenar Bersambung Sampai ke Rasulullah saw diakui oleh Rabithah Azmatkhan Abdul Jalil Syeikh Siti Jenar bin 1. Datuk Shaleh bin 2. Sayyid Abdul Malik bin 3. Sayyid Syaikh Husain Jamaluddin atau Jumadil Qubro atau Jamaluddin Akbar Al-Khan (Gujarat, India) bin 4. Sayyid Ahmad Shah Jalal atau Ahmad Jalaludin Al-Khan bin 5. Sayyid Abdullah AzhmatKhan (India) bin 6. Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir AzhmatKhan (Nasrabad) bin 7. Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut, Yaman) bin 8. Muhammad Sohib Mirbath (lahir di Hadhramaut, Yaman dimakamkan di Oman) bin 9. Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin 10. Sayyid Alawi Ats-Tsani bin 11. Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin 12. Sayyid Alawi Awwal bin 13. Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin 14. Ahmad al-Muhajir (Hadhramaut, Yaman ) bin 15. Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi (Basrah, Iraq) bin 16. Sayyid Muhammad An-Naqib bin 17. Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin 18. Sayyidina Ja’far As-Sodiq (Madinah, Saudi Arabia) bin 19. Sayyidina Muhammad Al Baqir bin 20. Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin {menikah dengan (34.a) Fathimah binti (35.a) Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Tholib, kakak Imam Hussain} bin 21. Al-Imam Sayyidina Hussain bin (22.a) Imam Ali bin (23.a)Abu Tholib dan (22.b) Fatimah Az-Zahro binti (23.b) Muhammad SAW (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817), 

Syech Siti Jenar Wali Kesepuluh 

Mengkaji sejarah merupakan sebuah upaya yang tidak mudah apalagi bila realitas sejarah tersebut terlah menjadi opini yang menghegemoni atau hanya sekedar suara simbang yang kurang dapat dibuktikan. Kenyataan tersebut menimpa sejarah ulama agung, Syeikh Siti Jenas, Keberadaannya yang misterius membuat pelbagai kalangan terjebak dalam data-data sejarah yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya sampai sekarang. Oleh sebab itu, melalui sebuah karya seorang ulama Jawa TImur, tersohor KH. Abil Fadhol Senori Tuban dalam karyanya “Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah (Sekelumit hikmah tentang wali ke sepuluh). Penulis meraba menampilkan sejarah yang sinkron dengan realitas. Mendengar karya tersebut, tentu kita akan takjub, sebab selama ini yang terkenal di Jawa sebagai penyebar agama Islam adalah walisongo atau wali sembilan. Nah KH, ABil Fadhol ingin menyampaikan realitas abu-abu sejarah yang selama ini terabaikan sebab realitanya Syeikh Siti Jenar sering di klaim sebagai seorang ulama yang sesat dan menyesatkan. 

Gagasan KH. ABil Fadhol sebenarnya kian bergulir semenjak berpuluh-puluh tahun lalu, tapi karena kehati-hatian beliau kraya-karya beliau tidak di publikasikan secara umum. Akan tetapi saat ini banyak karya beliau yang sudah mulai dilirik oleh Kiai-kiai Pesantren Tanah Jawa, seperti ringkasan Aushah al-Masalik ala al-FIyah Ibnu Malik, Kawakib al-Lamah fi Tahqiq al Musamma bi Ahlussunah Wal Jamaah, Ahlal Musamarah (sebuah karya yang penulis jadikan rujukan utama dalam biografi Syeikh Siti Jenar dalam tulisan ini) dll. Bahkan ada karya beliau tentang Syarah Uqud al Juman fi Ilmi al-Balaghah. Yang belum selesai, karena beliau telah berpulang ke hadiratnya, sehingga proyek balaghah itu nunggu uluran tangan dari pada Kiai di Indonesia. Dan kabar yang penulis terima, tak satupun ulama Indonesia pada saat ini mampu menyelesaikan Maha Karya tersebut. Hanya seorang pakar balaghah dari Yaman lah yang mampu mencoba menyelesaikan, namun penulis tidak akan menyinggung banyak tentang KH. Abil Fadhal, tetapi penulis ingin menuangkan data-data beliau dengan realitas yang penulis jumpai. Syeikh Siti Jenar mungkin tidak banyak yang mengetahui asal usulnya dikatakan bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari Persia, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa beliau sebagai keturunan seorang empu kerajaan Majapahit. 

 Bagi penulis sumber-sumber tersebut tidak dapat disalahkan, akan tetapi juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak, penulis hanya ingin menampilkan sosok Syeikh Siti Jenar alias Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil dengan di dukung beberapa data yang realistic, dalam sumber yang penulis terima, beliau merupakan keturunan (cucu) Syeikh Maulana Ishak, Syeikh Maulana Ishak merupakan saudara kandung Syeikh Ibrahim Asmarakandi dan Siti Asfa yang dipersunting Raja Romawi. Syeikh Maulana Ishak merupakan putra-putri Syeikh Jumadil Kubra yang secara silsilah keturunan sampai ke Sayyidina Husein, Sayyidina Ali, sampai ke Rasulullah. Walaupun dalam versi lain yang Syeikh Maulana Ishak merupakan putra dari Syeikh Ibrahim Asmarakandi. Namun penulis tetap yakin dengan. Syeikh Ibrahim Asmarakandi menikah dengan Dewi Condro Wulan, putri Cempa yang menjadi saudara sekandung istri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Marthaningrum, Prabu Brawijaya (Rungka Wijaya) memiliki banyak istri diantaranya putri raja Cina yang bernama Dewi Martaningrum (Putri Campa) yang melahirkan Raden Patah dan Wandan Kuning yang melahirkan Lembu Peteng. Sedangkan dari pernikahan Syeikh Ibrahim Asmarakandi dengan Dewi Candrawulan (saudara kandung Dewi Martaningrum, istri Prabu Brawijaya melahirkan tiga buah hati Raden Raja Pendita Raden Rahmat (Sunan Ampel) Sayyidah Zaenab. 

Setelah dewasa Raden Raja Pendita dan Raden Rahmat mampir ke tanah Jawa untuk mengunjungi bibinya yang dipersunting Prabu Brawijaya, tatkala akan kembali ke negeri Cempa, keduanya dilarang oleh Prabu Brawijaya, karena keadaan Cempa yang tidak aman, maka keduanya pun diberi hadiah sebidang tanag, dan diperbolehkan untuk menikah dan mukim di tanah Jawa, Raja Pendita menikah dengan anak Arya Baribea yang bernama Maduretno, sedangkan Raden Rahmat menikah dengan anak Arya Teja yang bernama Condrowati, dari pernikahan dengan Condrowati Raden Rahmat dianugerahi 5 putra, sayyidah Syarifah, Sayyidah Mutmainnah, Sayyidah Hafshah, Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) dan Sayyid Qosim (Sunan Drajat). Adapun Syeikh Maulana Ishak menikah dengan seorang putri Pasa dengan dikaruniai dua orang putra, Siti Sarah dan Sayyid Abdul Qodir Raden Rahmat (Sunan Ampel) putra Ibrahim Asmaraqandi menyebarkan Islam di daerah Surabaya, sedangkan pamannya Syeikh Maulana Ishak meninggalkan istrinya di Pasai menuju ke kerajaan Blambangan (Jawa Timur Bagian Timur) walaupun tinggal disebuah bukit di Banyuwangi namun keberadaannya dapat diketahui pihak kerajaan dan beliau berhasil menyelamatkan kerajaan Blambangan dari bencana, sehingga beliau pun diberi hadiah Dewi Sekardadu putri Menak Sembuyu, Raja Blambangan. Pernikahan tersebutlah yang melahirkan Raden Paku Ainul Yakin (Sunan Giri), Sayyid Abdul Qodir dan Sayyidah Sarah sebagi buah hatinya tidak mau ketinggalan dengan ayahnya, keduanya mondok di Pesantren Ampeldenta asuhan Sunan Ampel (yang masih sepupunya) atas perintah Sang Ayah. Setelah mumpuni keduanya pun dinikahkan, Siti Sarah dinikahi oleh Raden Syahid (Sunan Kalijaga) bin Raden Syakur (Adipati Wilatikta). 

Sedangkan Sayyid Abdul Qadir mempunyai himmah untuk belajar ilmu Tasawuf kepada Sunan Ampel. Diantara teman-temannya dialah yang sangat paham dalam menyingkap ilmu Tauhid secara tepat, tidak ingkar dan tidak kufur. Sebab tatkala orang seseorang memahami tauhid tentu keyakinannya terhadap Tuhan tidak akan ekstrim kanan (ingkar) atau ekstrim kiri (Kufur) tetapi berada dalam neutral point (Nughtah Muhayyidah) Kegesitan dalam dunia dakwah melalui kedalaman teologi (tauhid) menarik simpati pelbagai keluarga Kraton Majapahit, termasuk Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga untuk memeluk agama Islam, Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng Tingkir adalah dua sosok guru yang mendidik Mas Karebet alias Joko Tingkir untuk menjadi manusia yang saleh ritual, sosial dan intelektual sehingga keberadaan Joko Tingkir seorang politisi mampu mendamaikan konflik politik antara Arya Penangsang dapat ditaklukkan, Jaka Tingkir memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang dan menyerahkan kekuasaannya ke Sutawijaya. Sedangkan beliau mengembara dan berdakwah lewat jalur kultural, hingga meninggal di desa Pringgo Boyo Lamongan. 

Kesuksesan Ki Ageng Pengging mendidik Joko Tingkir tak lepas dari peran Sunan Abdul Jalil yang juga lihai dalam berpolitik. Bila anda mengkaji literatur tentang beliau, banyak sekali yang menyebutkan bahwa kematian beliau diakibatkan karena faktor politik. Sebagaimana telah diteliti oleh Agus Sunyoto dalam 300 literatur Jawa. Jadi bukan karena ajaran “manunggaling kawulo gusti” (wahdatul wujud) yang kurang bisa dipahami oleh sebagian kalangan, memang wali sepuluh menyebarkan Islam tidak dengan kekerasan, melainkan dengan kearifan, hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah lewat mata hati, sehingga akulturasi Budda, Hindu dan Islam adalah sebuah keniscayaa. Akan tetapi esensi ajaran Islam tetap mendominasi dan tidak bercampur dengan syirik dan kufur. Pernahkah kita berfikir, andaikan wali sepuluh memisahkan esensi Islam dengan budaya-budaya non Islam tersebut, tetu mungkin Islam belum mendarah daging dalam di Pulau Jawa hingga sekarang. Sunan Abdul Jalil juga seorang wali yang juga menempuh metode tersebut, sehingga secara intelektual beliau berada dalam papan atas. Tak heran apabila banyak kalangan elit Majapahit yang masuk Islam. Santri-santrinya yang dikhawatirkan mencegah berdiri dan berkembangnya kerajaan Demak Bintoro. Sungguh sangat kejam hanya demi tegaknya Negara Syariat, Sunan Abdul Jalil di rendahkan reputasinya dan dituduh menyebarkan ajaran sesat. 

Hal ini dapat anda buktikan dengan kematian misterius, tanpa diketahi tahun dan tempat eksekusi tersebut. Sehingga seolah-olah beliau hilang begitu saja. Padahal santri-santrinyapun aman dan tidak mendapatkan tekanan dari penguasa, seperti Kiai Ageng Pengging alias Kebo Kenanga yang berhasil mendidik Joko Tingkir. Konflik antara poyek besar Negara Islam yang berpusat di Demak Bintoro dan Glagah Wangi Jepara, inilah yang menjadikan nama harum sebagai Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil makamnya yang terletak di dekat Ratu Kalimanyat (Bupati Pertama Jepara) sampai sekarang banyak diziarahi orang. Memang proyek Demak Bintoro merupakan garapan kontraversial, sebabb Raden Patah sebagai pendiri merupakan anak dari Raden Brawijaya, seolah-olah Demak ingin membangun sebuah kerajaan New Majapahit versi Islam. Tak heran bila setelah Raden Trenggono wafat banyak tarik ulur kekuasaan, terutama Glagah Wangi (Jepara) dengan pusat kearajaan (Demak Bintoro) oleh sebab itu tak heran bila kemudian Joko Tingkir memindahkannya ke Pajang. Begitulah sekelumit sejarah tentang Syeikh Siti Jenar alias Syeikh Abdul Jalil atau Sunan Jepara, lebih jelasnya anda dapat mengunjungi makamnya dan dapat bertanya kepada juru kunci makam tersebut. Yang telah menutup rapat-rapat selama bertahun-tahun. Wallahu ‘alaam Oleh: Husni Hidayat el-Jufri Mendiskusikan tentang wafatnya Syekh Siti Jenar memang cukup menarik. Sebagaimana banyaknya versi yang menjelaskan tentang asal-usul dan sosol Syekh Siti Jenar, maka demikian pula halnya tentang varian versi yang menerangkan tentang proses kematiannya. Secara umum kesamaan yang diperlihatkan oleh berbagai literatur seputar kematian Syekh Siti Jenar hanyalah yang berkaitan dengan masanya saja, yakni pada masa kerajaan Islam Demak di bawah pemerintahan Raden Fatah sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Tentu hal ini juga masih mengecualikan sebagian kisah versi Cirebon, yang menyebutkan bahwa wafatnya Syekh Siti Jenar terjadi pada masa Sultan Trenggono. 

Sedangkan yang berkaitan dengan proses kematiannya, berbagai sumber yang ada memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Sampai saat ini, paling tidak terdapat beberapa asumsi (tujuh versi) mengenai proses meninggalnya Syekh Siti Jenar. Versi Pertama Bahwa Syekh Siti Jenar wafat karena dihukum mati oleh Sultan Demak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, yang dilaksanakan di alun-alun kesultanan Demak. Sebagian versi ini mengacu pada “Serat Syeikh Siti Jenar” oleh Ki Sosrowidjojo. Versi Kedua Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati. Pelaksana hukuman (algojo) adalah Sunan Gunung Jati sendiri, yang pelaksanaannya di Masjid Ciptarasa Cirebon. Mayat Syekh Siti Jenar dimandikan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, kemudian dimakamkan di Graksan, yang kemudian disebut sebagai Pasarean Kemlaten. 

Hal ini tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39 terbitan Emon Suryaatmana dan T.D Sudjana (alin bahasa pada tahun 1994). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudirman Tebba (2000: 41), Syekh Siti Jenar dipenggal lehernya oleh Sunan Kalijaga. Pada awalnya mengucur darar berwarna merah, kemudian berubah menjadi putih. Syekh Siti Jenar kemudian berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya”. Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke surga seiring dengan kata-kata: ”Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan selain dari Allah Yang Mahakuasa, dia akan kecewa, karena dia tidak akan memperoleh apa yang dia inginkan”. Untuk kisah yang terdapat dalam versi pertama dan kedua masih memiliki kelanjutan yang hampir sama. Sebagaimana dikemukakan dalam Suluk Syekh Siti Jenar, disebutkan bahwa setelah Syekh Siti Jenar meninggal di Krendhawasa tahun Nirjamna Catur Tunggal (1480 M. Tahun yang tentu saja masih terlalu dini untuk kematian Syekh Siti Jenar), jenazahnya dibawa ke Masjid Demak, karena saat itu magrib tiba, maka pemakaman dilakukan esok paginya agar bisa disaksikan oleh raja. 

Para ulama sepakat untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar sambil melafalkan pujian-pujian kepada Tuhan. Ketika waktu shalat tiba, para santri berdatangan ke masjid. Pada saat itu tiba-tiba tercium bau yang sangat harum, seperti bau bunga Kasturi. Selesai shalat para santri diperintahkan untuk meninggalkan masjid. Tinggal para ulama saja yang tetap berada di dalamnya untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar. Bau harum terus menyengat, oleh karena itu Syekh Malaya mengajak ulama lainnya untuk membuka peti jenazah Syekh Siti Jenar. Tatkala peti itu terbuka, jenazah Syekh Siti Jenar memancarkan cahaya yang sangat indah, lalu muncul warna pelangi memenuhi ruangan masjid. Sedangkan dari bawah peti memancarkan sinar yang amat terang, bagaikan siang hari. Dengan gugup, para ulama mendudukkan jenazah itu, lalu bersembah sujud sambil menciumi tubuh tanpa nyawa itu bergantian hingga ujung jari. Kemudian jenazah itu kembali dimasukkan ke dalam peti, Syekh Malaya terlihat tidak berkenan atas tindakan rekan-rekannya itu. Dalam Suluk Syekh Siti Jenar dan Suluk Walisanga dikisahkan bahwa para ulama telah berbuat curang. Jenazah Syekh Siti Jenar diganti dengan bangkai anjing kudisan. Jenazah itu dimakamkan mereka di tempat yang dirahasiakan. Peti jenazah diisi dengan bangkai anjing kudisan. Bangkai itu dipertontonkan keesokan harinya kepada masyarakat untuk mengisyaratkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar adalah sesat. Digantinya jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing ini ternyata diketahui oleh salah seorang muridnya bernama Ki Luntang. Dia datang ke Demak untuk menuntut balas. 

Maka terjadilah perdebatan sengit antara Ki Luntang dengan para Wali yang berakhir dengan kematiannya. Sebelum dia mengambil kematiannya, dia menyindir kelicikan para Wali dengan mengatakan (Sofwan, 2000: 221): “...luh ta payo totonen derengsun manthuk, yen wus mulih salinen, bangke sakarepmu dadi. Khadal, kodok, rase, luwak, kucing kuwuk kang gampang lehmu sandi, upaya sadhela entuk, wangsul sinantun gajah, sun pastheake sira nora bisa luruh reh tanah jawa tan ana...” ...nah silahkan lihat diriku yang hendak menjemput kematian. Jika nanti aku telah mati, kau boleh mengganti jasadku sekehendakmu, kadal, kodok, rase, luwak atau kucing tua yang mudah kau peroleh. Tapi, jika hendak mengganti dengan gajah, kau pasti tidak akan bisa karena di tanah Jawa tidak ada...” Seperti halnya sang guru, Ki Luntang pun mati atas kehendaknya sendiri, berkonsentrasi untuk menutup jalan hidup menuju pintu kematian. Versi Ketiga Bahwa Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Giri, dan algojo pelaksana hukuman mati tersebut adalah Sunan Gunung Jati. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa vonis yang diberikan Sunan Giri atas usulan Sunan Kalijaga (Hasyim, 1987: 47). Dikisahkan bahwa Syekh Siti Jenar mempunyai sebuah pesantren yang banyak muridnya. Namun sayang, ajaran-ajarannya dipandang sesat dan keluar dari ajaran Islam. Ia mengajarkan tentang keselarasan antara Tuhan, manusia dan alam (Hariwijaya, 2006: 41-42). 

 Hubungan manusia dengan Tuhannya diungkapkan dengan “Manunggaling kawula-gusti” dan “Curiga Manjing Warangka”. Hubungan manusia dengan alam diungkapkan dengan “Mengasah Mingising Budi, Memasuh Malaning Bumi”, dan “Hamemayu Hayuning Bawana”, yang bermuara pada pembentukan “Jalma Sulaksana”, “Al-insan Al-kamil”, “Sarira Bathara”, “Manusia Paripurna”, “Adi Manusia” yang imbang lahir batin, jiwa-raga, intelektual spiritual, dan kepala dadanya. Konsep manunggaling kawula gusti oleh Syekh Siti Jenar disebut dengan “uninong aning unong”, saat sepi senyap, hening, dan kosong. Sesungguhnya Zat Tuhan dan zat manusia adalah satu, manusia ada dalam Tuhan dan Tuhan ada dalam manusia. Sunan Giri sebagai ketua persidangan, setelah mendengar penjelasan dari berbagai pihak dan bermusyawarah dengan para Wali, memutuskan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat. Ajarannya bisa merusak moral masyarakat yang baru saja mengenal Islam. Karenanya Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati. Syekh Siti Jenar masih diberi kesempatan selama setahun untuk memperbaiki kesalahannya sekaligus menanti berdirinya Negara Demak secara formal, karena yang berhak menentukan hukuman adalah pihak negara (Widji saksono, 1995: 61). 

Kalau sampai waktu yang ditentukan ia tidak mengubah pendiriannya, maka hukuman tersebut akan dilaksanakan. Sejak saat itu, pesantren Syekh Siti Jenar ditutup dan murid-muridnya pun bubar, menyembunyikan diri dan sebagian masih mengajarkan ajaran wahdatul wujud meskipun secara sembunyi-sembunyi. Setelah satu tahun berlalu, Syekh Siti Jenar ternyata tidak berbubah pendiriannya. Maka dengan terpaksa Sunan Gunung Jati melaksanakan eksekusi yang telah disepakati dulu. Jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di lingkungan keraton agar orang-orang tidak memujinya. Versi Keempat Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhi Sunan Giri sendiri. Peristiwa kematian Syekh Siti Jenar versi ini sebagaimana yang dikisahkan dalam Babad Demak. Menurut babad ini Syekh Siti Jenar meninggal bukan karena kemauannya sendiri, dengan kesaktiannya dia dapat menemui ajalnya, tetapi dia dibunuh oleh Sunan Giri. Keris ditusukkan hingga tembus ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning. Setelah mengetahui bahwa suaminya dibunuh, istri Syekh Siti Jenar menuntut bela kematian itu kepada Sunan Giri. Sunan Giri menghiburnya dengan mengatakan bahwa dia bukan yang membunuh Syekh Siti Jenar tetapi dia mati atas kemauannya sendiri. Diberitahukan juga bahwa suaminya kini berada di dalam surga. 

Sunan Giri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia melihat suaminya berada di surga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana yang berkilauan (Sofwan, 2000: 218). Kematian Syekh Siti Jenar dalam versi ini juga dikemukakan dalam Babad Tanah Jawa yang disandur oleh S. Santoso, dengan versi yang sedikit memiliki perbedaan. Dalam babad ini disebutkan Syekh Siti Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali ke masjid. Para ulama takjub karena dia dapat terbang ke surga, namun kemudian marah karena badannya kembali ke masjid. Melihat hal yang demikian, Sunan Giri kemudian mengatakan bahwa tubuhnya harum ditikam dengan sebuah pedang, kemudian dibakar. Syekh Maulana kemudian mengambil pedang dan menikamkannya ke tubuh Syekh Siti Jenar, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah dan menuduh Syekh Siti Jenar berbohong atas pernyataannya yang menegaskan bahwa dia rela mati. Syekh Siti Jenar menerima banyak tikaman dari Syekh Maulana, tetapi dia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, “Itu luka orang jahat, terluka tapi tidak berdarah”. Dari luka-luka Syekh Siti Jenar itu seketika keluar darah berwarna merah. 

Seketika Syekh Maulana berkata lagi, ”Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah yang keluar berwarna merah”. Dari merah yang mengucur itu seketika berubah berwarna putih. Syekh Maulana berkata lagi. “Ini seperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Kalau ‘insan kamil’ betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya, berarti kawula gusti tidak terpisah”. Dalam sekejap mata tubuh Syekh Siti Jenar hilang dan darahnya sirna. Syekh Maulana kemudian membuat muslihat dengan membunuh seekor anjing, membungkusnya dengan kail putih dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa mayat Syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing disebabkan ajarannya yang bertentangan dengan syariat. Anjing itu kemudian di bakar. Beberapa waktu setelah peristiwa itu, para ulama didatangi oleh seorang penggembala kambing yang mengaku sebagai murid Syekh Siti Jenar. Dia berkata, ”Saya dengar para Wali telah membunuh guru saya, Syekh Siti Jenar. Kalau memang demikian, lebih baik saya juga Tuan-tuan bunuh. Sebab saya ini juga Allah, Allah yang menggembalakan kambing”. Mendengar penuturannya itu kemudian Syekh Maulana membunuhnya dengan pedang yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh Syekh Siti Jenar. Seketika tubuh mayat penggembala kambing itu lenyap. (Tebba, 2003: 43). Versi Kelima Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan yang menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah Sunan Kudus. Versi tentang proses kematian Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi yang disunting oleh Rahman Selendraningrat. Tentu bahwa kisah eksekusi terhadap Syekh Siti jenar yang terdapat dalam versi ini berbeda dari yang lainnya. Nampaknya kisah ini bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan oleh Sunan Kudus. Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra “kacirebonan” ini diawali dengan memperlihatkan posisi para pengikut Syekh Siti Jenar di Cirebon sebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kesultanan Cirebon. 

Sejumlah tokoh pengkutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi semuanya menemui kegagalan. Tatkala Pengging dilumpuhkan, Syekh Siti Jenar yang pada saat itu menyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon diikuti oleh para muridnya dari Pengging. Di Cirebon, kekuatan Syekh Siti Jenar menjadi semakin kokoh, pengikutnya meluas hingga ke desa-desa. Serelah Syekh Datuk Kahfi meninggal dunia, Sultan Cirebon menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Padepokan Amparan Jati. Pangeran Punjungan bersedia menjalankan tugas yang diembankan sultan kepadanya, namun dia tidak mendapatkan murid di sana karena orang-orang telah menjadi murid Syekh Siti Jenar. Bahkan panglima bala tentara Cirebon bernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi muridnya Syekh Siti Jenar. Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar merasa aman tinggal di Cirebon Girang. Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh Sultan Demak. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai 700 orang prajurit ke Cirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu. Langkah pertama yang diambil Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di istana Pangkuangwati. Selanjutnya bala tentara Cirebon dan Demak menuju padepokan Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang. 

Syekh Siti Jenar kemudian di bawa ke masjid Agung Cirebon, tempat para Wali telah berkumpul. Dalam persidangan itu, yang bertindak sebagai hakim ketuan adalah Sunan Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan Syekh Siti Jenar harus dihukum mati. Kemudian Sunan Kudus melaksanakan eksekusi itu menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa itu terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506 (Sofwan, 2000: 222). Pada peristiwa selanjutnya, mulai diperlihatkan kecurangan yang dilakukan oleh para ulama di Cirebon terhadap keberadaan jenazah Syekh Siti Jenar. Dikisahkan, setelah eksekusi dilaksanakan, jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di suatu tempat yang kemudian banyak diziarahi orang. Untuk mengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan, sedangk di kuburan yang sering dikunjungi orang itu dimasukkan bangkai anjing hitam. Ketika para perziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke Jawa Timur, kuburan di buka dan ternyata yang tergeletak di dalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing. Para peziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu. Ketika itu Sultan Cirebon memanfaatkan situasi dengan mengeluarkan fatwa agar orang-orang tidak menziarahi bangkai anjing dan agar meninggalkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar (Sulendraningrat, 1983: 28). 

Versi Keenam Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo. Pada saatu hukuman harus dilaksanakan, para anggota Wali Songo mendatangi Syekh Siti Jenar untuk melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi kemudian para anggota Wali Songo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut, karena Syekh Siti Jenar justru memilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon kepada Allah agar diwafatkan tanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan para Sanan, sekaligus Syekh Siti Jenar menempuh jalan kematiannya sendiri, yang sudah ditetapkan oleh Allah. Versi ini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar yang digubah oleh Ki Sosrowidjojo, yang kemudian disebarluaskan kembali ileh Abdul Munir Mulkan (t.t). Sofwan (2000: 215-217) mengutip Suluk Walingsanga (sebagaimana juga yang terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam berbagai versi) yang di dalamnya terdapat cerita yang mengisahkan bahwa kematian Syekh Siti Jenar berawal dari perdebatan yang terjadi antara Syekh Siti Jenar dengan dua orang utusan Sultan Demak, yakni Syekh Domba dan Pangeran Bayat sebagai utusan Sultan Fatah dan Majelis Wali Songo. Dua orang utusan ini diperintah Sultan atas persetujuan Majelis Wali Songo untuk mengadakan tukar pikiran (lebih tepatnya menginvestigasi) dengan Syekh Siti Jenar mengenai ajaran yang dia sampaikan kepada murid-muridnya. 

 Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan oleh Syekh Siti Jenar menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayah Demak. Hal ini disebabkan ulah para muridnya yang berbuat kegaduhan, merampok, berkelahi, bahkan membunuh. Bila ada kejahatan atau keonaran, tentu murid Syekh Siti Jenar yang menjadi pelakunya. Ketika pengawal kerajaan menangkap mereka, maka mereka bunuh diri di dalam penjara. Bila dikorek keterangan dari mereka, dengan angkuh mereka mengatakan bahwa mereka adalah murid Syekh Siti Jenar yang telah banyak mengenyam ilmu makrifat, dan selalu siap mati bertemu Tuhan. Mereka beranggapan bahwa hidup sekedar menjalani mati, oleh karena itu mereka merasa jenuh menyaksikan bangkai bernyawa bertebaran di atasnya. Dunia ini hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih memilih meninggalkan dunia ini. Mereka juga mengejek, mengapa orang mati diajari shalat, menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidak pernah melihat Tuhan. Berkenaan dengan pemahaman yang demikian ini, maka Syekh Domba dan Pangeran Bayat diutus oleh Sultan Demak untuk menemui Syekh Siti Jenar. Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan antara utusan Sultan dengan Syekh Siti Jenar. Dalam perdebatan itu, terlihat bahwa kemahiran Syekh Siti Jenar berada di atas Syekh Domba dan Pangeran Bayat. Pada akhirnya, Syekh Domba merasa kagum atas uraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar, bahkan dia bisa menyetujui kebenarannya. Dia ingin menjadi muridnya secara tulus, kalau saja tidak dicegah oleh Pangeran Bayat. Selanjutnya, kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan apa yang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah berunding dengan Majelis Wali Songo, Sultan kemudian mengutus lima orang Wali untuk memanggil Syekh Siti Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan ajarannya. Kelima utusan itu adalah Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan Sunan Bonang sebagai pemimpin utusan itu. Mereka diikuti oleh empat puluh orang santri lengkap dengan persenjataannya untuk memaksa Syekh Siti Jenar datang ke istana. Sesampainya di kediaman Syekh Siti Jenar, kelima Wali tersebut terlibat perdebatan sengit. Perdebatan itu berakhir dengan ancaman Sunan Kalijaga. Sekalipun mendapatkan ancaman dari Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar tetap tidak bersedia datang ke istana karena menurutnya Wali dan raja tidak berbeda dengan dirinya, sama-sama terbalut darah dan daging yang akan menjadi bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan karena ancaman yang ada, tetapi karena kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar kemudian berkonsentrasi, menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal dunia. Versi Ketujuh Bahwa terdapat dua orang tokoh utama, yang memiliki nama asli yang berdekatan dengan nama kecil Syekh Siti Jenar, San Ali. 

Tokoh yang satu adalah Hasan Ali, nama Islam Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi yang semula berambisi menguasai Cirebon, namun kemudian terusir dari Keraton, karena kedurhakaan kepada Rsi Bungsi dan pemberontakannya kepada Cirebon. Ia menaruh dendang kepada Syekh Siti Jenar yang berhasil menjadi seorang guru suci utama di Giri Amparan Jati. Tokoh yang satunya lagi adalah San Ali Anshar al-Isfahani dari Persia, yang semua merupakan teman seperguruan dengan Syekh Siti Jenar di Baghdad. Namun ia menyinpan dendang pribadi kepada Syekh Siti Jenar karena kalah dalam hal ilmu dan kerohanian. Ketika usia Syekh siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini bekerja sama untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa, ke tempat-tempat yang penduduknya menyatakan diri sebagai pengikut Syekh Siti Jenar, padahal mereka belum pernah bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Sehingga masyarakat tersebut kurang mengenal sosok asli Syekh Siti Jenar. Pada tempat-tempat seperti itulah, dua tokoh pemalsu ajaran Syekh Siti Jenar memainkan perannya, mengajarkan berbagai ajaran mistik, bahkan perdukunan yang menggeser ajaran tauhid Islam. Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, dan San Ali Anshar mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar. Hasan Ali beroperasi di Jawa bagian Barat, sementara San Ali Anshar di Jawa Bagian Timur. Kedua orang ini sebenarnya yang dihukum mati oleh anggota Wali Songo, karena sudah melancarkan berbagai fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar sebagai guru dan anggota Wali Songo. 

Kemungkinan karena silang sengkarut kemiripan nama itulah, maka dalam berbagai Serat dan babad di daerah Jawa, cerita tentang Syekh Siti Jenar menjadi simpang siur. Namun pada aspek yang lain, ranah politik juga ikut memberikan andil pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar. Karena naiknya Raden Fatah ke tampuk kekuasaan Kesultanan Demak, diwarnai dengan intrik perebutan tahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh, sehingga segala intrik bisa terjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan, termasuk dengan mempolitisasi ajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki dukungan massa banyak, namun tidak menggabungkan diri dalam ranah kekuasaan Raden Fatah. Jadi dikaitkan dengan kekuasaan Sultan Trenggono, sebagaimana tercatat dalam berbagai fakta sejarah, naiknya Sultan Trenggono sebagai penguasa tunggal Kesultanan Demak, adalah dengan cara berbagai tipu muslihat dan pertumpahan darah. Karena sebenarnya yang berhak menjadi Sultan adalah Pangeran Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, kakak laki-laki Sultan Trenggono yang seharusnya menggantikan Adipati Unus. “Seda Ing Lepen” artinya meninggal di sungai. Sebenarnya Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai, namun dibunuh oleh orang-orang suruhan Pangeran Trenggono, baru setelah terbunuh, mayatnya dibuang ke sungai (Daryanto, 2009: 215-278). 

Kematian kakaknya tersebut diduga atas strategi Sultan Trenggono. Sultan Trenggono sendiri, pada mulanya tidaklah begitu disukai oleh para adipati dan kebanyakan masyarakat, karena sifatnya yang ambisius, yang dibingkai dalam sikap yang lembut. Salah satu tokoh penentang utama naiknya Trenggono sebagai Sultan adalah Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid utama Syekh Siti Jenar. Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belum mau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan kemudian kurang menyukai Sultan Trenggono. Mungkin oleh karena faktor inilah, maka Sultan Trenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut Syekh Siti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh Dewan Wali Songo di masjid Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjing kudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal yang sangat mustahil terjadi dalam konteks hukum Islam, namun tentu dianggap sebagai sebuah kebenaran atas nama kemukjizatan bagi masyarakat awam. Keberadaan para ulama “penjilat” penguasa, yang untuk memenuhi ambisi duniawinya bersedia mengadakan fitnah terhadap sesama ulama, dan untuk selalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajaran kebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak kepentingan penguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ “Ulum al-Din menyebutkan sebagai al-‘ulama’ al-su’ (ulama yang jelek dan kotor). 

Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku para ulama pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlak penguasa, disamping fitnah keji yang ditujukan kepada sesama ulama, namun beda pendapat dan kepentingan, maka Sunan Kalijaga membuatkan deskripsi secara halus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai dalang, Sunan Kalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi politik dan memiliki karakter jelek sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan Pendeta Durna (ulama yang bermuka dua, munafik). Kedua tokoh tersebut dalam serial pewayangan model Sunan Kalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama; memakai surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang. Pemberian karakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkan sejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahat yang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai Sang Yamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengan dirinya atau dengan penguasa di mana sang ulama mengabdikan dirinya. Hal tersebut merupakan cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yang sudah mencitrakan pakaian keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut Sang Pencabut Nyawa. 

Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karena dalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus dibungkus habis. Gambaran pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak Sunan Kalijaga terhadap para ulama yang menjilat kepada kekuasaan, bahkan aktivitasnya digunakan untuk semata-mata membela kepentingan politik dan kekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan pribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulama yang ‘tukang’ hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulah yang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna. Berbagai versi tentang kematian Syekh Siti Jenar menunjukkan bahwa tokoh Syekh Siti Jenar memang sangat kontroversional. Berbagai literatur yang ada tidak dapat memastikan tentang asal-usul keberadaannya hingga proses kematian yang dialaminya, disebabkan oleh banyak faktor dan kepentingan yang mengitarinya. Walaupun demikian, sejumlah besar keterangan yang mengisahkan tentang keberadaannya memerlihatkan ajarannya yang selalu dipertentangkan dengan paham para Wali, namun sekaligus tidak jarang membuat para Wali itu sendiri “kagum” dan “mengakui” kebenaran ajarannya. Tentu saja, “pengakuan” dan “kekaguman” itu tidak pernah diperlihatkan secara eksplisit karena akan mengurangi “keagungan” mereka, disamping kurang objektifnya penulisan serat dan babad Jawa, yang terkait dengan Syekh Siti Jenar. 

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa dalam berabgai Serat dan Babad tersebut, akhir dari kisah Syekh Siti Jenar selalu dihiasi dengan usaha-usaha intrik politik para Wali. Bisa jadi hal ini memang dilakukan oleh para ulama penjilat kekuasaan, oleh murid-murid generasi penerus para ulama yang pernah memusuhi ajaran Syekh Siti Jenar, atau para penulis kisah yang juga memiliki kepentingan tersendiri terkait dengan motif politik, ideologi, keyakinan, dan ajaran keagamaan yang dianutnya. Pada sisi lain, disamping disebabkan banyaknya referensi yang berbeda dalam menjelaskan kisah Syekh Siti Jenar, pemahaman mereka yang membaca akan memberikan pemahaman baru dari bacaan tersebut sehingga memperbanyak versi. Misalnya, tentang pemahaman salah satu versi mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar yang dalam Serat Syekh Siti Jenar, sebagaimana juga disadur dalam Falsafah Syekh Siti Jenar disebut “berasal dari caing (elur)”. Sebagian penafsir mengatakan bahwa memang Syekh Siti Jenar bukanlah berasal dari manusia, namun semula ia adalah seekor cacing yang disumpah oleh Sunan Bonang menjadi manusia. Padalah, jika cara pembacaan ini dilakukan dengan cara referensi silang, kita mendapatkan penjelasan dari sumber lain, misalnya dalam Serat Seh Siti Jenar yang tersimpan di musem Radya Pustaka Surakarta, bahwa yang dimaksud “elur” (cacing) tidak lain adalah “wrejid bangsa sudra” (yang berasal dari rakyat jelata). Maksudnya Syekh Siti Jenar adalah masyarakat biasa yang berhasil menjadi Wali, atau seorang Wali yang menjelata (menempatkan dirinya berada di tengah-tengah mansyarakat jelata) (lihat misalnya Sujamto, 2000: 87). 

Sumber : 
K.H. Muhammad Sholikhin. Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo. Erlangga. Boyolali: 2008 
http://maulanusantara.wordpress.com/2011/08/29/biografi-singkat-syekh-siti-jenar/ http://ajiraksa.blogspot.com/2012/05/7-versi-kematian-syekh-siti-jenar.html 
http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/17/syeikh-siti-jenar-wali-kesepuluh/

No comments:

Post a Comment