Mengenal Biodiesel: Karakteristik, Produksi, hingga Performansi Mesin (2)

Bagian kedua dari tulisan ini membahas proses produksi yang umum digunakan dalam pembuatan asam lemak metil ester (biodiesel). Transesterifikasi menggunakan katalis kimiawi (asam/basa), baik langsung ataupun didahului dengan praesterifikasi, merupakan proses yang banyak digunakan saat ini untuk menghasilkan biodiesel. Beberapa teknik baru, seperti penggunaan katalis biologis (biocatalyst) dan transesterifikasi tanpa katalis juga dibahas dalam tulisan ini.
Proses Produksi Biodiesel
Refined fatty oil yang memiliki kadar asam lemak bebas (free fatty oil) rendah, sekitar 2% bisa langsung diproses dengan metode transesterifikasi menggunakan katalis alkalin untuk menghasilkan metil ester dan gliserol. Namun bila kadar asam minyak tersebut masih tinggi, maka sebelumnya perlu dilakukan proses praesterifikasi terhadap minyak tersebut. Kandungan air dalam minyak tumbuhan juga harus diperiksa sebelum dilakukan proses transesterifikasi.
Esterifikasi dua tahap
Transesterifikasi merupakan metode yang saat ini paling umum digunakan untuk memproduksi biodiesel dari refined fatty oil. Metode ini bisa menghasilkan biodiesel (FAME) hingga 98% dari bahan baku minyak tumbuhan (Bouaid dkk., 2005). Bila bahan baku yang digunakan adalah minyak mentah yang mengandung kadar asam lemak bebas (free fatty acid – FFA) tinggi (yakni lebih dari 2% – Ramadhas dkk. (2005)), maka perlu dilakukan proses praesterifikasi untuk menurunkan kadar asam lemak bebas hingga sekitar 2%. Ramadhas dkk. (2005) melakukan dua tahap esterifikasi untuk memproses minyak biji karet mentah (unrefined rubber seed oil) menjadi biodiesel. Kedua proses tersebut adalah:
1. Esterifikasi asam: Ini merupakan proses pendahuluan menggunakan katalis asam untuk menurunkan kadar asam lemak bebas hingga sekitar 2%. Asam sulfat (sulphuric acid) 0.5 wt% dan alkohol (umumnya methanol) dengan molar rasio antara alkohol dan bahan baku minyak sebesar 6:1 terbukti memberikan hasil konversi yang baik.
2. Esterifikasi alkalin: Selanjutnya dilakukan proses transesterifikasi terhadap produk tahap pertama di atas menggunakan katalis alkalin. Sodium hidroksida 0.5 wt% dan alkohol (umumnya methanol) dengan rasio molar antara alkohol dan produk tahap pertama sebesar 9:1 digunakan dalam proses transesterifikasi ini.
Kedua proses esterifikasi di atas dilakukan pada temperatur 40 – 50oC. Esterifikasi dilakukan di dalam wadah berpengaduk magnetik dengan kecepatan konstan. Keberadaan pengaduk ini penting untuk memastikan terjadinya reaksi di seluruh bagian reaktor. Produk esterifikasi alkalin akan berupa metil ester di bagian atas dan gliserol di bagian bawah (akibat perbedaan densitas). Setelah dipisahkan dari gliserol, metil ester tersebut selanjutnya dicuci dengan air distilat panas (10 vol%). Karena memiliki densitas yang lebih tinggi dibandingkan metil ester, air pencuci ini juga akan terpisahkan dari metil ester dan menempati bagian bawah reaktor. Metil ester yang telah dimurnikan ini selanjutnya bisa digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel.
Selain untuk menurunkan kadar asam, pada proses praesterifikasi juga perlu dilakukan pengurangan kadar air. Pada prinsipnya, pengurangan kadar air bisa dilakukan dengan dua cara, separasi gravitasi atau separasi distilasi. Separasi gravitasi mengandalkan perbedaan densitas antara minyak dengan air: air yang lebih berat akan berposisi di bagian bawah untuk selanjutnya dapat dipisahkan. Sedangkan separasi distilasi mengandalkan titik didih air sekitar 100oC dan pada beberapa kasus digunakan pula tekanan rendah untuk memaksa air keluar dan terpisah dari minyak.
Zullaikah dkk. (2005) menggunakan proses katalis-asam dua tahap untuk menghasilkan biodiesel dari minyak dedak/bekatul beras (rice bran oil) yang memiliki kadar asam tinggi. Proses tahap pertama dilakukan pada temperatur 60oC dan tekanan atmosfer. Rasio molar antara methanol dan asam lemak bebas (FFA) diset pada 5:1. Temperatur di dalam wadah/reaktor dijaga dengan cara mencelupkannya ke dalam fluida (oil) dengan temperatur tertentu (oil bath with temperature controller). Pengaduk magnetik digunakan untuk memastikan terjadinya reaksi kimia di seluruh bagian wadah. Asam sulfat (sulphuric acid) 2 wt% dicampurkan terlebih dahulu dengan methanol untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah/reaktor. Setelah 2 jam, proses dihentikan dan campuran di dalam reaktor didinginkan hingga mencapai temperatur ruang. Produk dipisahkan dan dibersihkan menggunakan air. Fasa organik kemudian dipisahkan dari air dan dikeringkan dengan teknik tekanan rendah (vakum). Produk akhir tahap pertama ini kemudian diproses lagi menggunakan katalis asam yang sama, asam sulfat, dengan konsentrasi asam sulfat 2 wt% dan rasio molar antara methanol dan minyak sebesar 9:1. Reaksi dilakukan dalam wadah tertutup pada temperatur 100oC dan kecepatan pengaduk sebesar 300 rpm (putaran per menit). Sekitar 96% metil ester bisa dihasilkan menggunakan proses katalis-asam dua tahap ini setelah 8 jam menggunakan minyak dedak/bekatul beras yang semula memiliki kadar asam lemak bebas (FFA) sebesar 76%.
Transesterifikasi
Bila bahan baku minyak yang digunakan merupakan minyak yang telah diproses (refined fatty oil) dengan kadar air dan asam lemak bebas yang rendah, maka proses esterifikasi dengan katalis alkalin bisa langsung dilakukan terhadap minyak tersebut. Transesterifikasi pada dasarnya terdiri atas 4 tahapan, yakni:
1. Pencampuran katalis alkalin (umumnya sodium hidroksida atau potassium hidroksida) dengan alkohol (umumnya methanol). Konsentrasi alkalin yang digunakan bervariasi antara 0.5 – 1 wt% terhadap massa minyak. Sedangkan alkohol diset pada rasio molar antara alkohol terhadap minyak sebesar 9:1.
2. Pencampuran alkohol+alkalin dengan minyak di dalam wadah yang dijaga pada temperatur tertentu (sekitar 40 – 60oC) dan dilengkapi dengan pengaduk (baik magnetik ataupun motor elektrik) dengan kecepatan konstan (umumnya pada 600 rpm – putaran per-menit). Keberadaan pengaduk sangat penting untuk memastikan terjadinya reaksi methanolisis secara menyeluruh di dalam campuran. Reaksi methanolisis ini dilakukan sekitar 1 – 2 jam.
3. Setelah reaksi methanolisis berhenti, campuran didiamkan dan perbedaan densitas senyawa di dalam campuran akan mengakibatkan separasi antara metil ester dan gliserol. Metil ester dipisahkan dari gliserol dengan teknik separasi gravitasi.
4. Metil ester yang notabene biodiesel tersebut kemudian dibersihkan menggunakan air distilat untuk memisahkan zat-zat pengotor seperti methanol, sisa katalis alkalin, gliserol, dan sabun-sabun (soaps). Lebih tingginya densitas air dibandingkan dengan metil ester menyebabkan prinsip separasi gravitasi berlaku: air berposisi di bagian bawah sedangkan metil ester di bagian atas.
Katalis biologis (biocatalyst)
Beberapa kritik yang ditujukan terhadap proses transesterifikasi kimiawi adalah tingginya konsumsi energi proses serta masih terikutnya senyawa-senyawa pengotor dalam metil ester, seperti [mono, di] gliserida, gliserol, air, dan katalis alkalin yang dipergunakan (Salis dkk., 2005; Han dkk, 2005; Toda dkk, 2006). Pemurnian metil ester terhadap senyawa-senyawa pengotor tersebut memerlukan tambahan energi dan material dalam proses transesterifikasi minyak menjadi biodiesel.
Salis dkk. (2005) mengajukan teknik katalisasi biologis (biocatalysis) untuk memproduksi biodiesel, oleic acid alkyl ester (dalam hal ini butil oleat), dari triolein menggunakan beberapa macam katalis biologis, yakni Candida Antarctica B, Rizhomucor Miehei, dan Pseudomonas Cepacia. Karena mahalnya harga katalis biologis dibandingkan katalis kimiawi, maka penggunaan katalis biologis tersebut dilakukan dengan cara immobilisasi pada katalis. Teknik ini sekaligus memungkinkan dilakukannya proses kontinyu dalam produksi biodiesel. Dari hasil pengujian yang dilakukan Salis dkk. (2005), ditemukan bahwa Pseudomonas Cepacia merupakan katalis biologis yang paling baik dalam menghasilkan 100% butil oleat (oleic acid ethyl ester) dalam waktu 6 jam. Temperatur optimum reaksi ini adalah 40oC.
Toda dkk (2006) juga menggunakan jalur katalis biologis untuk memproduksi biodiesel dari minyak tumbuhan. Mereka membuat katalis padat (solid catalyst) dari gula dengan cara melakukan pirolisis terhadap senyawa gula (D-glucose dan sucrose) pada temperatur di atas 300oC. Proses ini menyebabkan karbonisasi tak sempurna terhadap senyawa gula dan terbentuknya lembar-lembar karbon aromatik polisiklis (polycyclic aromatic carbon sheets). Asam sulfat (sulphuric acid) kemudian digunakan untuk mensulfonasi cincin aromatik tersebut sehingga menghasilkan katalis. Katalis padat yang dihasilkan dengan cara ini disebutkan memiliki kemampuan mengkonversi minyak tumbuhan menjadi biodiesel lebih tinggi dibandingkan katalis asam sulfat cair ataupun katalis asam padat lain yang telah ada sebelumnya.
Transesterifikasi tanpa katalis
Han dkk. (2005) melakukan proses transesterifikasi pada minyak kedelai (soybean oil) menggunakan methanol superkritik dan co-solvent CO2. Tidak adanya katalis pada proses ini memberikan keuntungan tidak diperlukannya proses purifikasi metil ester terhadap katalis yang biasanya terikut pada produk proses transesterifikasi konvensional menggunakan katalis asam/basa. Han dkk. (2005) melakukan perbaikan pada proses transesterifikasi menggunakan methanol superkritik dengan menambahkan co-solvent CO2 yang berfungsi untuk menurunkan tekanan dan temperatur operasi proses transesterifikasi. Hal ini berkorelasi langsung pada lebih rendahnya energi yang diperlukan dalam proses transesterifikasi menggunakan methanol superkritik. Namun demikian, temperatur yang terlibat dalam proses yang dilakukan Han dkk (2005) masih cukup tinggi, yakni sekitar 280oC.
Pustaka
1. Bouaid, A., Diaz, Y., Martinez, M., Aracil, J., “Pilot plant studies of biodiesel production using Brassica Carinata as raw material”, Catalysis Today, (2005)
2. Han, H., Chao, W., Zhang, J., “Preparation of biodiesel from soybean oil using supercritical methanol and CO2 as co-solvent”, Process Biochemistry, 40, 3148 – 3151 (2005)
3. Ramadhas, A. S., Mulareedharan, C., Jayaraj, S., “Performance and emission evaluation of e diesel engine fueled with methyls esters of rubber seed oil”, Renewable Energy, 30, 1789 – 1800 (2005)
4. Salis, A., Pinna, M., Monduzzi, M., Solinas, V., “Biodiesel production from triolein and short chain alcohols through biocatalysis” Journal of Biotechnology, 119, 291 – 299 (2005)
5. Toda, M., Takagaki, A., Okamura, M., Kondo, JM., Hayashi, S., Domen, K., Hara, M., “Biodiesel made with sugar catalyst”, Nature, 438, 178 (2005)
6. Zullaikah, S., Lai, C. C., Vali, S. R., Ju, Y.-H., “A two-step acid-catalyzed for the production of biodiesel from rice bran oil”, Bioresource Technology, 96, 1889 – 1886 (2005)

1 comment: